LAPORAN AKHIR
Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah
dalam Penanggulangan Kemiskinan
melalui Analisis Kemiskinan Partisipatoris (AKP)
Lembaga Penelitian SMERU
Desember 2006
Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2006
Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan melalui Analisis
Kemiskinan Partisipatoris (AKP)/Widjajanti I. Suharyo et al. − Jakarta: Lembaga Penelitian
SMERU, 2006.
xvi, 68 p. ; 31 cm. − (Laporan Penelitian SMERU, Desember 2006)
ISBN 978-979-3872-35-3
1. Penanggulangan Kemiskinan I. SMERU
II. Suharyo, Widjajanti I.
362.57/DDC 21
Lembaga Penelitian SMERU, i Desember 2006
Tim Peneliti:
Lembaga Penelitian SMERU:
Widjajanti I. Suharyo (Koordinator)
Bambang Sulaksono
Herry Widjanarko
Nina Toyamah
Rizki Fillaili
Sulton Mawardi
Syahbudin Hadid
Syaikhu Usman
Wawan Heryawan
Tim AKP Kabupaten Bima:
Fathiyah
Fauzia Tiaida
Irwan
Lalu Suryadi
Mahman
Muhammad Natsir
Mukhlis Ishaka
Nurfarhati
Ruslan H. Ibrahim
Sri Wiryana
Tita Masithah
Zuraiti
Tim AKP Kabupaten Tapanuli Tengah:
Akdarudin Tanjung
Basyri Nasution
Dedy S. Pasaribu
Erwin Romulus
Ewiya Laili
Guturiya Sitorus
M. Ridsam Batubara
Muller Silalahi
Nurhalimah Hutagalung
Rina Lamrenta L-Tobing
Yulifri Lubis
Lembaga Penelitian SMERU, ii Desember 2006
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan
pemerintah daerah, khususnya Bappeda, Kabupaten Bima dan Kabupaten Tapanuli
Tengah atas kesediaaan dan antusiasme untuk memberikan dukungan, bekerjasama
dan terlibat dalam kajian ini. Secara khusus, ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada masyarakat dan para kepala desa di Desa Belo, Desa Nunggi, Desa Doridungga
dan Desa Waworada di Kabupaten Bima, serta Desa Jago-Jago, Desa Kinali, Desa
Sipange dan Desa Mombang Boru di Kabupaten Tapanuli Tengah, yang telah
memfasilitasi dan terlibat aktif dalam berbagai diskusi yang menjadi fokus kajian ini.
Penghargaan khusus juga kami sampaikan kepada Japan Bank for International
Cooperation (JBIC) untuk dukungan keuangan sehingga memungkinkan
dilaksanakannya kajian ini. Demikian juga kepada Bappenas, khususnya Bapak Arifin
Rudianto, Bapak Sumedi Andonomulyo, Bapak Rohmad, dan semua staf di Biro
Regional II, atas dukungan dan masukan bagi substansi kajian ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua lembaga yang telah
memberikan informasi dan bertukar gagasan sejak saat persiapan sampai dengan
penyelesaian laporan ini. Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada
P2TPD, CESS, UNDP dan URDI atas kesediaannya untuk berbagi pengalaman
dalam melaksanakan program yang serupa; kepada Bappeda and Komite
Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Sumatera
Utara atas data dan informasi yang relevan yang diberikan pada awal pelaksanaan
kajian ini; dan akhirnya, kepada semua peserta lokakarya nasional atas masukan
dan komentar terhadap kajian ini.
Lembaga Penelitian SMERU, iii Desember 2006
KATA PENGANTAR
Kemiskinan masih menjadi permasalahan besar di Indonesia. Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang diluncurkan pemerintah tahun 2005
menyatakan perlunya kontribusi semua pemangku kepentingan, termasuk pemda,
dalam upaya bersama untuk mengurangi kemiskinan. Peranan pemda dalam
penanggulangan kemiskinan menjadi makin penting setelah dimulainya pelaksanaan
kebijakan otonomi darah sejak 2001 karena kebanyakan pelayanan publik dan
berbagai kebijakan yang secara langsung memengaruhi kehidupan masyarakat berada
di tangan pemerintah kabupaten. Karena pentingnya peranan pemerintah daerah ini,
berbagai inisiatif telah diluncurkan dalam rangka meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah dalam menangani masalah kemiskinan di daerahnya masingmasing.
Studi ini ingin menyumbang kepada kepentingan ini.
Kajian SMERU (2003) yang mengkonsolidasikan hasil analisis kemiskinan
partisipatoris (AKP) di 79 desa yang dilakukan pada 2003, telah memberikan
landasan bagi usulan penggunaan beberapa alat bantu AKP dalam menyempurnakan
proses perencanaan agar lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Pada gilirannya,
diharapkan proses ini akan menghasilkan sebuah strategi penanggulangan
kemiskinan dan dokumen rencana pembangunan yang lebih berpihak kepada
masyarakat miskin. Pengalaman dan pelajaran yang dipetik dari berbagai upaya yang
juga bertujuan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah ikut membentuk
rancangan kajian ini.
Pelaksanaan kajian ini sedikit berbeda dengan kajian-kajian SMERU lainnya karena
secara langsung didukung dan melibatkan pemerintah Kabupaten Bima dan
Kabupaten Tapanuli Tengah. Beberapa pegawai pemerintah daerah, aktivis lembaga
nonpemerintah, dan akademisi dari perguruan tinggi setempat, secara aktif terlibat
langsung dalam kajian ini. Pemikiran dan analisis mereka memperkaya analisis dalam
kajian ini dan memberikan kontribusi yang nyata, khususnya dalam penyusunan
model pengintegrasian AKP ke dalam proses perencanaan pembangunan daerah yang
sedang berjalan.
Besar harapan kami bahwa hasil kajian ini akan memberikan kontribusi, baik bagi
pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin, khususnya di
kabupaten sampel kajian, maupun dalam wacana nasional mengenai pengembangan
proses perencanaan pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin.
Kami sangat berterima kasih atas dukungan berbagai pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan kajian ini. Kami menyadari bahwa kajian ini dan laporan awalnya
mungkin mengandung banyak kelemahan. Oleh karena itu, kami sangat menghargai
kritik, komentar, dan masukan yang telah disampaikan berbagai pihak untuk
perbaikan kajian dan laporan ini.
Jakarta, Januari 2006
Tim Peneliti SMERU
Lembaga Penelitian SMERU, iv Desember 2006
Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah
dalam Penanggulangan Kemiskinan
melalui Analisis Kemiskinan Partisipatoris (AKP)
ABSTRAK
Dengan telah disusunnya Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) di
Indonesia, muncul kebutuhan akan penyusunan Strategi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (SPKD) melalui proses inklusif dengan menerapkan analisis
kemiskinan partisipatoris (AKP). Kajian ini merupakan uji coba upaya untuk
meningkatkan kemampuan pemerintah kabupaten dalam melaksanakan AKP dan
memanfaatkan hasilnya sebagai salah satu masukan bagi penyusunan rencana
pembangunan daerah, termasuk SPKD. Kajian yang berlangsung selama sembilan
bulan ini dilaksanakan mulai April 2005 sampai dengan Desember 2005 di dua
kabupaten, yaitu Kabupaten Bima di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan
Kabupaten Tapanuli Tengah di Provinsi Sumatera Utara.
Kemajuan dan hasil kajian ini dilaporkan dalam Laporan Tahap I, Tahap II dan
Laporan Akhir. Hasil kajian ini mencakup analisis kondisi kemiskinan di dua
kabupaten studi, kajian tentang kapasitas pemerintah kabupaten dalam menganalisis
kondisi kemiskinan dan merancang kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan, serta kajian tentang potensi pengintegrasian AKP dalam proses
perencanaan pembangunan daerah. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dirumuskan
beberapa rekomendasi mengenai alternatif kebijakan untuk mengurangi kemiskinan
di dua kabupaten studi, upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintah kabupaten
dalam mengurangi kemiskinan, dan pengintegrasian AKP ke dalam proses
perencanaan daerah yang sudah berjalan.
Lembaga Penelitian SMERU, v Desember 2006
DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMA KASIH ii
KATA PENGANTAR iii
ABSTRAK iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM vii
RINGKASAN EKSEKUTIF x
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 2
1.3. Lokasi, Waktu, dan Mekanisme Pelaksanaan Kajian 2
1.4. Struktur Laporan 5
II. PROSES PELAKSANAAN KAJIAN 6
2.1. Pelaksanaan Kajian Tahap 1 6
2.2. Pelaksanaan Kajian Tahap 2 9
2.3. Pelaksanaan Kajian Tahap 3 16
III. HASIL ANALISIS KEMISKINAN PARTISIPATORIS (AKP) 19
3.1. Kabupaten Bima 19
3.2. Kabupaten Tapanuli Tengah 27
IV. KAPASITAS DAERAH DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 36
4.1. Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan 36
4.2. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan 41
4.3. Kontribusi Kajian terhadap Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan
Kemiskinan 45
V. PROSES PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN
POTENSI PENGINTEGRASIAN ANALISIS KEMISKINAN
PARTISIPATORIS (AKP) 47
5.1. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah yang Sedang Berjalan 48
5.2. Potensi dan Kendala Pengintegrasian AKP dalam Proses Perencanaan 52
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 56
6.1. Kondisi Kemiskinan dan Alternatif Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan 56
6.2. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan
Kemiskinan 58
6.3. Pengintegrasian AKP dalam Proses Perencanaan Pembangunan Kabupaten 59
LAMPIRAN 60
Lembaga Penelitian SMERU, vi Desember 2006
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Profil Desa-Desa AKP di Kabupaten Tapanuli Tengah 14
Tabel 2. Profil Desa-Desa AKP di Kabupaten Bima 14
Tabel 3. Klasifikasi Kesejahteraan Rumah Tangga di Desa-Desa
AKP di Kabupaten Bima, 2000 dan 2005 21
Tabel 4. Klasifikasi Kesejahteraan Rumah Tangga di Desa-Desa
AKP di Kabupaten Tapanuli Tengah, 2000 dan 2005 30
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Lokasi Kajian ”Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah
dalam Penanggulangan Kemiskinan melalui AKP” 4
Gambar 2. Tahapan Kegiatan Kajian ”Peningkatan Kapasitas
Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan
melalui AKP” 6
Gambar 3. Lokasi Tiga Desa AKP di Kabupaten Tapanuli Tengah 12
Gambar 4. Lokasi Tiga Desa AKP di Kabupaten Bima 13
Gambar 5. Perubahan Angka Kemiskinan di Kabupaten Bima dan
Provinsi NTB, 1999-2004 20
Gambar 6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Kab.
Tapanuli Tengah dan Provinsi Sumatera Utara, 1996-
2003 28
Gambar 7. Perubahan Angka Kemiskinan di Kabupaten Tapanuli
Tengah dan Provinsi Sumatera Utara, 1999-2004 29
Gambar 8. Rangkaian Proses Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) 48
Gambar 9. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Bima 51
Gambar 10. Integrasi Hasil AKP dalam Penyusunan Dokumen
Rencana Pembangunan (Usuan dari Kabupaten Bima) 54
Gambar 11. Pengintegrasian AKP dalam Proses Perencanaan
Pembangunan (Usulan dari Kabupaten Tapanuli Tengah) 55
Lembaga Penelitian SMERU, vii Desember 2006
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM
ADB Asian Development Bank
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BBM bahan bakar minyak
BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BPMPP Badan Pembangunan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan
BPMD Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa
BPS Badan Pusat Statistik
BPR Bank Perkreditan Rakyat
BRI Bank Rakyat Indonesia
CDS City Development Strategy
CESS Center for Economic and Social Studies
Coremap Coral Reef Rehabilitation
DAFEP Decentralized Agricultural and Forestry Extension Project
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FGD focused group discussion
GTZ Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit
IBRD International Bank for Reconstruction and Development
IDT Inpres Desa Tertinggal
IKM indeks kemiskinan manusia
ILGR Initiative for Local Government Reform
IMS inisiatif masyarakat setempat
IPCOS Institute for Policy and Community Development Studies
IPM indeks pembangunan manusia
JBIC Japan Bank for International Cooperation
JPK Gakin Jaminan Pemeliharaan Kesehatan untuk Keluarga Miskin
JPS-BK Jaring Pengaman Sosial – Bidang Kesehatan
Kab. kabupaten
KB Keluarga Berencana
Kec. kecamatan
KK kepala keluarga
KPK Komite Penanggulangan Kemiskinan
KPKD Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah
KUD Koperasi Unit Desa
KUKM koperasi, usaha kecil, dan menengah
LKM lembaga keuangan mikro
LP3M Lembaga Pengkajian Pedesaan, Pantai, dan Masyarakat
LSM lembaga swadaya masyarakat
KSP koperasi simpan-pinjam
MFCDP Marginal Fishing – Community Development Program
MFP Multi-stakeholders Forestry Program
MUI Majelis Ulama Indonesia
Musbang musyawarah pembangunan
Lembaga Penelitian SMERU, viii Desember 2006
Musbangdes musyawarah pembangunan desa
Musrenbang musyawarah rencana pembangunan
NGO non-government organization
NTAADP Nusa Tenggara Agricultural Area Development Project
NTB Nusa Tenggara Barat
NTT Nusa Tenggara Timur
ODI-DFID Overseas Development Institute – Department for International
Development
OPK operasi pasar khusus
PDM-DKE Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Kekeringan dan Masalah
Ketenagakerjaan
PEMP Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
Pemda pemerintah daerah
Perda peraturan daerah
Perpres Peraturan Presiden
PIDRA Participatory Integrated Development in Rain fed Area
PLKB petugas lapangan Keluarga Berencana
PMD pemberdayaan masyarakat desa
Posyandu pos pelayanan terpadu
PPA participatory poverty assessment
P2D Pengembangan Prasarana Desa
P3A Perkumpulan Petani Pemakai Air
PPL petugas penyuluh lapangan
PPK Program Pengembangan Kecamatan
PPM Participatory Poverty Mapping
P4K Proyek Pemberdayaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan
Nelayan Kecil
P4K Perencanaan Program Partisipatif Pengentasan Kemiskinan
PRA participatory rural appraisal
Propeda program pembangunan daerah
Prov. provinsi
PRS poverty reduction strategy
PRSP Poverty Reduction Strategy Paper
Pustu puskesmas pembantu
Rakorbang rapat koordinasi pembangunan
Raskin beras untuk keluarga miskin
Renja rencana kerja
Renstra rencana strategis
RKPD Rencana Kerja Pembangunan Daerah
RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang
RPJPD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPTD Rencana Pemerintah Tingkat Desa
RPTK Rencana Pemerintah Tingkat Kecamatan
SCBD Sustainable Capacity Building for Decentralization
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
Lembaga Penelitian SMERU, ix Desember 2006
STIE Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
STISIP Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Sumut Sumatera Utara
TUGI The Urban Governance Initiative
TKPK Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
UED-SP Unit Ekonomi Desa-Simpan Pinjam
UKM usaha kecil dan menengah
UMKM usaha mikro, kecil, dan menengah
UNDP United Nations Development Program
UPKD Unit Pengelola Keuangan Desa
UP2K Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga
URDI Urban and Regional Development Institute
USP usaha simpan-pinjam
WHFK Women’s Health and Family Welfare
WWF World Wild Fund
Lembaga Penelitian SMERU, x Desember 2006
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pemerintah telah menyusun Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan (SNPK) melalui proses yang inklusif dan dengan memanfaatkan hasil
analisis kemiskinan partisipatoris (AKP). Oleh karena itu, Pemerintah Pusat
mengharapkan agar pemerintah daerah juga menggunakan AKP dalam perumusan
rencana pembangunan daerah dan penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan
daerah (SPKD). Mengingat sebagian besar pemerintah daerah belum mengenal
AKP, maka Lembaga Penelitian SMERU melakukan sebuah kajian yang hasilnya
diharapkan dapat mendukung peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam
upaya mengurangi kemiskinan dengan menggunakan AKP. Kajian ini dilaksanakan
di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara dan di Kabupaten Bima,
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kajian ini bertujuan memperkenalkan AKP dan
membangun kapasitas daerah dalam melaksanakan AKP, serta memanfaatkan
hasilnya sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana pembangunan daerah,
termasuk penyusunan dokumen SPKD. Kajian ini didasarkan pada berbagai temuan
dan rekomendasi dari studi konsolidasi kajian kemiskinan partisipatoris yang telah
dilakukan Lembaga Penelitian SMERU dengan dukungan JBIC pada 2003, di
samping pengalaman berbagai program serupa yang telah dilakukan lembagalembaga
lain.
Kajian ini dilaksanakan selama sembilan bulan, yakni dari April 2005 sampai dengan
Desember 2005. Pada pertengahan Januari 2006, diselenggarakan lokakarya nasional
di Jakarta sebagai forum untuk mendiskusikan dan menyebarluaskan hasil-hasil
kajian. Pada prinsipnya, kajian ini menerapkan pendekatan yang menekankan pada
proses pembelajaran bersama. Berdasarkan pendekatan tersebut, SMERU dan
pemerintah daerah (pemda) kabupaten, beserta unsur-unsur nonpemerintah,
bersama-sama mencoba mempelajari dan sekaligus melaksanakan AKP dalam rangka
penyusunan rencana pembangunan daerah. Melalui kajian bersama pemda ini,
diharapkan dapat ditemukan alternatif model pengintegrasian AKP dalam proses
penyusunan kebijakan dan program pembangunan daerah, serta model
pendampingan teknis bagi pemda dan para pemangku kepentingan (stakeholders) di
daerah pada umumnya.
Proses Pelaksanaan Kajian
Pelaksanaan kajian ini terbagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan kajian,
tahap pelaksanaan, dan tahap analisis dan pelaporan. Dalam tahap persiapan
dilakukan wawancara dengan Bappenas dan empat lembaga yang telah melakukan
kegiatan peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dalam kaitan
dengan penanggulangan kemiskinan. Pada tahap ini juga dilakukan persiapan materi
pelatihan AKP dan kunjungan awal ke Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya
Kabupaten Bima, dan Provinsi Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Tapanuli
Tengah. Dalam kunjungan ini dilakukan diskusi dengan pemda kabupaten dalam
rangka memulai kerjasama, wawancara dengan berbagai dinas di lingkungan pemda
dan lembaga nonpemerintah, dan diskusi terarah dengan para pemangku kepentingan
di tingkat kabupaten mengenai kondisi kemiskinan di daerahnya.
Lembaga Penelitian SMERU, xi Desember 2006
Tahap kedua kajian ini dimulai dengan pematangan persiapan pelatihan AKP yang
mencakup perbaikan materi pelatihan dan pemilihan peserta pelatihan. Selanjutnya
dilakukan pelatihan AKP selama enam hari, yang terdiri dari empat hari di kelas dan
dua hari uji coba lapangan. Di Kabupaten Bima, pelatihan diikuti oleh 13 peserta
(enam dari pemda dan tujuh dari unsur nonpemerintah), dan di Kabupaten Tapanuli
Tengah diikuti oleh 11 peserta (sembilan dari pemda dan dua dari unsur
nonpemerintah). Setelah pelatihan, peserta pelatihan (yang kemudian disebut Tim
AKP kabupaten) dan SMERU melakukan kegiatan AKP di tingkat desa selama
sekitar tujuh hari. AKP di Kabupaten Bima dilaksanakan di tiga desa dengan tipologi
penghidupan di daerah pertanian tanaman pangan dan peternakan sapi. Desa-desa
tersebut merupakan daerah perbukitan yang terletak di sekitar hutan dan banyak
ditanami tanaman perkebunan, serta daerah pantai dengan mata pencaharian
campuran antara pertambakan, pertanian padi, dan nelayan. AKP di Kabupaten
Tapanuli Tengah juga dilakukan di tiga desa dengan tipologi daerah semiurban
dengan sebagian masyarakat bertani. Desa-desa tersebut merupakan daerah pertanian
tanaman pangan dan perkebunan, daerah pantai dengan mata pencaharian nelayan
serta bertani tanaman pangan dan kelapa. Pada akhir tahap dua ini dilakukan diskusi
dengan para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten untuk melaporkan dan
mendiskusikan hasil awal dari AKP di tingkat desa.
Dalam tahap ketiga dilakukan konsolidasi dan analisis terhadap data dan informasi
yang telah diperoleh dari tahap pertama dan kedua. Hasil analisis tersebut
didiskusikan dengan Tim AKP kabupaten dan dinas/lembaga di lingkungan pemda
serta lembaga nonpemerintah yang relevan. Kegiatan di kabupaten studi diakhiri
dengan lokakarya yang dihadiri oleh unsur-unsur pemda, DPRD, dan lembaga
nonpemerintah yang relevan. Lokakarya ini membahas hasil kajian dan rekomenasi
untuk penanggulangan kemiskinan, serta potensi pengintegrasian AKP dalam proses
perencanaan daerah. Akhirnya, pada pertengahan Januari 2006 dilaksanakan
lokakarya di Jakarta dengan para pemangku kepentingan di tingkat nasional, yang
difasilitasi oleh Bappenas. Selain melaporkan pelaksanaan dan hasil kajian, lokakarya
ini juga secara khusus membahas alternatif model pengintegrasian AKP dalam proses
perencanaan daerah.
Hasil AKP
Kemiskinan di Kabupaten Bima sangat dipengaruhi oleh kondisi alamnya yang relatif
kering dengan lahan basah dan subur yang relatif sempit. Walaupun demikian, sektor
pertanian masih mendominasi perekonomian daerah. Sekitar 48% PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) berasal dari pertanian dan sebagian besar masyarakat juga
bekerja di sektor ini. Keterbatasan sumber daya alam ini membuat kemiskinan
menjadi masalah kronis di Kabupaten Bima. Angka kemiskinan dan indeks
kemiskinan manusia (IKM) kabupaten ini di atas rata-rata nasional, dan indeks
pembangunan manusia (IPM) di bawah rata-rata nasional. Namun, data sekunder
yang dikeluarkan BPS menunjukkan adanya harapan perbaikan kesejahteraan
masyarakat karena angka kemiskinan dalam lima tahun terakhir (1999-2004)
cenderung terus turun.
Hasil diskusi dengan masyarakat di tiga desa AKP di kabupaten ini memperlihatkan
bahwa kecenderungan peningkatan kesejahteraan hanya terjadi di kalangan petani
Lembaga Penelitian SMERU, xii Desember 2006
yang beralih ke komoditas baru yang harga produknya lebih tinggi, seperti bawang
merah dan kacang-kacangan, dan di kalangan peternak yang memelihara jenis sapi
baru dengan tehnik pemeliharaan yang lebih baik. Namun peningkatan kesejahteraan
ini menghadapi risiko kerentanan karena tanaman bawang merah mulai terserang
penyakit dan pemeliharaan sapi menghadapi kesulitan pasokan pangan. Sedangkan
tingkat kesejahteraan beberapa komunitas lainnya cenderung menurun, di antaranya
adalah: petani sawah karena terus berkurangnya pasokan air irigasi, peternak sapi yang
masih memelihara dengan cara tradisional, nelayan tradisional yang harus bersaing
dengan kapal-kapal ikan dari luar daerah, dan petani tambak yang tidak lagi dapat
mengelola tambaknya karena perusahaan mitranya mengalami kebangkrutan. Dalam
kaitan ini, perlu dicatat bahwa dinamika kesejahteraan masyarakat di sekitar kota
belum dicakup dalam kegiatan AKP ini.
Analisis lebih mendalam dari hasil AKP memperlihatkan bahwa secara umum
kondisi kemiskinan di Kabupaten Bima dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu: (1)
degradasi lingkungan, khususnya di kawasan sekitar hutan dan tanah-tanah kritis
akibat penebangan liar dan perladangan berpindah; (2) peningkatan produksi dan
kerentanan usahatani karena faktor iklim, kerusakan lingkungan, dan hama penyakit
tanaman; (3) keterbatasan lapangan kerja, khususnya di luar sektor pertanian; (4)
rendahnya keterampilan dan tingkat pendidikan, khususnya di kalangan masyarakat
miskin; (5) kurangnya keterjangkauan program keluarga berencana yang
menyebabkan besarnya jumlah anggota keluarga di kalangan keluarga miskin; dan (6)
rendahnya akses masyarakat terhadap lembaga pendukung kegiatan ekonomi dan
rendahnya pelibatan masyarakat dalam program/proyek yang telah dilaksanakan.
Perekonomian di Kabupaten Tapanuli Tengah juga masih didominasi oleh sektor
pertanian, namun kondisi sumber daya alam di kabupaten ini jauh lebih baik
dibandingkan Kabupaten Bima karena musim penghujan lebih panjang dan kondisi
tanah lebih subur. Walaupun demikian, kabupaten ini merupakan kabupaten kedua
termiskin di Provinsi Sumatera Utara dan data BPS menunjukkan kecenderungan
peningkatan kemiskinan dalam lima tahun terakhir dan stagnasi pertumbuhan
ekonomi, khususnya dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi
Sumatera Utara.
Hasil diskusi dengan masyarakat di tiga desa AKP di Kabupaten Tapanuli Tengah
memperlihatkan bahwa kecenderungan penurunan tingkat kesejahteraan memang
dirasakan oleh beberapa komunitas, antara lain: petani sawah karena adanya
serangan hama, banjir dan kerusakan jaringan irigasi, serta tidak berfungsinya
lembaga pengatur pasokan air irigasi; dan nelayan tradisional yang hasil
tangkapannya cenderung terus menurun karena kerusakan terumbu karang akibat
pengeboman dan beroperasinya pukat Thailand. Di sisi lain, beberapa komunitas
cenderung merasa kesejahteraannya meningkat, di antaranya: petani yang beralih ke
tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit, coklat, dan buah-buahan; dan
masyarakat yang berdomisili di daerah dekat perkotaan yang pendidikannya relatif
agak tinggi karena akses jalan yang baik dan adanya peluang kerja baru di sektor
perdagangan dan jasa.
Analisis hasil AKP di tingkat desa dan diskusi dengan para pemangku kepentingan di
tingkat kabupaten mengarahkan pada setidaknya lima faktor yang memengaruhi
Lembaga Penelitian SMERU, xiii Desember 2006
kemiskinan di Kabupaten Tapanuli Tengah. Faktor pertama adalah mata
pencaharian. Sebagian petani yang melakukan diversifikasi tanaman perkebunan
meningkat kesejahteraannya, sebaliknya kesejahteraan nelayan dan petani tanaman
pangan justru menurun. Sementara itu, lapangan kerja dan peluang usaha di luar
sektor pertanian sangat terbatas. Hal ini mendorong generasi muda yang
berpendidikan cukup tinggi untuk mencari kerja di luar daerah. Faktor kedua adalah
rendahnya pendidikan di kalangan keluarga miskin. Perhatian khusus perlu diberikan
kepada masyarakat nelayan karena tingkat pendidikan anak laki-laki cenderung
sangat rendah, bahkan lebih rendah dari anak perempuan. Faktor ketiga adalah
kondisi infrastruktur. Peningkatan kondisi infrastruktur jalan dan komunikasi di
beberapa lokasi telah mendorong peningkatan kesejahteraan. Namun di banyak
tempat kondisi infrastruktur jalan dan sarana irigasi justru makin buruk karena
kurangnya pemeliharaan, bencana banjir yang cenderung makin parah karena
rusaknya lingkungan di hulu sungai, dan konstruksi awal yang kurang baik. Faktor
keempat adalah kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah aliran sungai dan di
pantai dan laut. Faktor kelima adalah terbatasnya jangkauan program keluarga
berencana ke kalangan masyarakat miskin dan daerah-daerah terpencil. Kurangnya
tenaga kesehatan, masalah adat, dan masih adanya kesalahan persepsi mengenai efek
samping penggunaan alat kontrasepsi, menyebabkan keluarga miskin cenderung
mempunyai lebih banyak anak sehingga beban keluarga menjadi lebih berat.
Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan
Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa kapasitas kelembagaan Pemda Kabupaten
Bima dalam penanggulangan kemiskinan relatif lebih baik dibandingkan Kabupaten
Tapanuli Tengah. Hal ini tercermin dari aktivitas KPKD Kabupaten Bima yang telah
mencoba melakukan pendataan keluarga miskin, inventarisasi program
penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemda, lembaga nonpemerintah, dan
lembaga donor, melakukan pendataan kelompok usaha ekonomi produktif yang telah
dibentuk melalui berbagai program pemerintah, dan penyusunan draf SPKD. Adapun
di Kabupaten Tapanuli Tengah, walaupun secara formal telah dibentuk KPKD,
namun lembaga tersebut belum melakukan kegiatan. Perkembangan kapasitas
kelembagaan di Kabupaten Bima tersebut antara lain ditunjang oleh: keberadaan dan
aktivitas berbagai lembaga swadaya masyarakat yang kegiatannya bervariasi, mulai
dari kegiatan pendampingan langsung di tingkat akar rumput sampai kegiatan
advokasi kebijakan; keanggotaan KPKD yang terdiri dari unsur pemda dan lembaga
nonpemerintah; aktivitas dan dukungan dari berbagai lembaga donor, baik yang
terfokus pada upaya penanggulangan kemiskinan maupun yang terfokus pada
penguatan kapasitas perencanaan daerah; dan kondisi politik daerah tersebut. Jika
dilihat dari keberadaan lembaga donor, terlihat bahwa di Kabupaten Bima lebih
banyak program/projek yang dibiayai lembaga donor dan lembaga nonpemerintah
internasional dibandingkan di Kabupaten Tapanuli Tengah. Selain itu, lebih
parahnya kondisi kemiskinan di Kabupaten Bima mendorong pemda dan masyarakat
untuk lebih menaruh perhatian pada persoalan kemiskinan.
Perbedaan kapasitas kelembagaan tersebut sedikit banyak memengaruhi efektivitas
upaya peningkatan kapasitas yang dilakukan dalam kajian ini. Karena Kabupaten
Bima telah mempersiapkan draf SPKD, draf RPJP dan RPJM maka lebih mudah
untuk menggunakan hasil kajian ini sebagai bahan masukan bagi perencanaan
Lembaga Penelitian SMERU, xiv Desember 2006
pembangunan daerah, dan bagi penyempurnaan proses perencanaan yang sudah
berjalan secara partisipatoris. Forum-forum diskusi di tingkat kabupaten juga lebih
inklusif karena melibatkan partisipasi dari aparat pemda, DPRD dan lembagalembaga
nonpemerintah. Di sisi lain, walaupun dampak kegiatan di Kabupaten
Tapanuli Tengah tidak sejelas di Kabupaten Bima, kajian ini telah memperkenalkan
pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatoris, serta mendorong diskusi kebijakan
penanggulangan kemiskinan dengan cara pandang yang lebih mengarahkan pada
kepentingan masyarakat miskin. Dalam proses selanjutnya, diskusi-diskusi di tingkat
kabupaten menjadi semakin aktif dan inklusif, khususnya dalam pelibatan unsur di
lingkungan pemda dan lembaga-lembaga nonpemerintah. Namun pelibatan DPRD
terhambat karena adanya ketegangan di dalam DPRD sendiri dan kurang
harmonisnya hubungan antara lembaga legislatif tersebut dengan lembaga eksekutif.
Proses Perencanaan Pembangunan Daerah dan Potensi Pengintegrasian AKP
Meskipun kedua kabupaten studi menggunakan UU Nomor 25 Tahun 2004 sebagai
acuan mekanisme perencanaan pembangunan mereka, pada praktiknya proses
perencanaan yang dilakukan di kedua kabupaten tersebut agak berbeda. Kabupaten
Bima telah mulai merintis sistim perencanaan pembangunan partisipatoris sejak 2001
dengan dukungan proyek PROMIS-NT. Proses perencanaan partisipatoris tersebut
dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 237 Tahun 2002 yang kemudian
direvisi dan ditetapkan dalam Perda Nomor 5 Tahun 2005. Proses perencanaan
dimulai dari tingkat desa dengan melibatkan perwakilan dusun dan pemuka
masyarakat. Selanjutnya dilakukan musyawarah di tingkat kecamatan dan kabupaten
yang melibatkan unsur-unsur nonpemerintah, termasuk LSM dan perguruan tinggi.
Proses diskusi yang melibatkan multipihak juga dilakukan dalam penyusunan draf
SPKD, RPJP, dan RPJM. Hingga tahun 2004, di Kabupaten Tapanuli Tengah,
musyawarah pembangunan (musbang) hanya melibatkan unsur pemda. Sejak tahun
2001, dengan dihapuskannya Inpres Desa, musbang tidak lagi dilakukan di tingkat
desa, tetapi hanya dilakukan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Musbang di
tingkat kecamatan juga hanya dihadiri oleh perwakilan desa, perwakilan BPM dan
Bappeda. Baru pada tahun 2005 dinas sektoral diundang ke musrenbang kecamatan
dan lembaga nonpemerintah diundang ke musrenbang kecamatan dan kabupaten.
Pengalaman yang diperoleh Tim AKP kabupaten selama keikutsertaan dalam kajian
ini menumbuhkan pemahaman bahwa masyarakat miskin pun dapat berperanserta
dalam diskusi. Beberapa alat yang digunakan dalam diskusi juga dirasa sangat
membantu memfasilitasi penyampaian pendapat masyarakat. Pengalaman tersebut
telah memberikan inspirasi bagi anggota Tim AKP dalam menyempurnakan prosesproses
diskusi perencanaan yang biasa mereka lakukan. Khususnya di Kabupaten
Bima yang telah melakukan musbang (yang kemudian disebut musrenbang) di
tingkat desa, pengalaman dalam AKP ini telah menunjukkan pada mereka bahwa
musbang di tingkat desa yang telah dilakukan masih cenderung elitis. Oleh karena
itu, mereka bermaksud untuk menyempurnakan musrenbang desa dengan
mengintegrasikan beberapa alat bantu AKP dan melibatkan masyarakat miskin.
Selain itu, Kabupaten Bima juga telah menggunakan hasil AKP sebagai masukan
dalam finalisasi RPJP dan RPJM. Tim AKP Kabupaten Tapanuli Tengah juga
melihat potensi pengintegrasian AKP dalam musrenbang desa.
Lembaga Penelitian SMERU, xv Desember 2006
Rekomendasi
Secara garis besar, hasil kajian ini mendukung rekomendasi umum bahwa upaya
penanggulangan kemiskinan dan upaya peningkatan kapasitas pemda dalam
penanggulangan kemiskinan harus disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi-politik
setempat. Dalam rangka penanggulangan kemiskinan disarankan untuk melihat
permasalahan kemiskinan secara komprehensif sehingga dapat dilihat keterkaitan
antara satu masalah dengan permasalahan lainnya, sehingga upaya penanggulangan
kemiskinan dan kerentanan dapat dilakukan terpadu.
Hasil AKP menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan
bersama dengan pengenalan komoditas yang mempunyai harga jual lebih tinggi
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan keejahteraannya
cenderung lebih besar dibandingkan pembangunan infrastruktur saja. Di samping itu,
banyak upaya nonfisik, seperti penegakan hukum dan peraturan, serta pelatihan,
penyuluhan dan pendampingan yang juga memiliki peranan penting dalam
mengurangi kemiskinan. Lebih penting lagi, dibutuhkan perubahan orientasi
pelayanan publik ke arah masyarakat dengan penghasilan terendah, mengingat hasil
AKP ini memperlihatkan adanya gejala terabaikannya pemberian pelayanan bagi
kelompok miskin.
Rekomendasi berkaitan dengan peningkatan kapasitas pemda dalam penanggulangan
kemiskinan dan pengintegrasian AKP dalam proses perencanaan adalah:
• Pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten masih
memerlukan bimbingan teknis dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman mengenai kompleksitas dan sifat multidimensi kemiskinan. AKP
dapat menjadi sarana untuk peningkatan pemahaman tersebut.
• Pendampingan perlu dilakukan dalam waktu yang agak lama karena materi harus
diberikan secara berturut-turut untuk meningkatkan pemahaman mengenai
kemiskinan, memberikan keterampilan yang diperlukan agar mampu melibatkan
masyarakat miskin dalam analisis kemiskinan dan memberikan kemampuan
analisis untuk mengarusutamakan kemiskinan. Peningkatan kemampuan analisis
tampaknya membutuhkan upaya khusus, meskipun diskusi intensif dengan dinas
teknis dan lembaga nonpemerintah terkait yang telah dilakukan dalam kajian ini
cukup menstimulasi kemampuan analisis mereka.
• Pengembangan proses partisipatoris penting dalam proses AKP. Namun, proses
yang partisipatoris tidak selalu menjamin adanya ruang untuk partisipasi
masyarakat miskin dan bahwa perhatian akan diarahkan pada kemiskinan.
Dengan demikian, penting untuk memastikan bahwa proses partisipatoris yang
dibangun memang dirancang untuk menjamin keterlibatan masyarakat miskin.
• Bentuk bantuan harus memperhatikan kondisi perkembangan masyarakat sipil,
perkembangan proses perencanaan partisipatoris, dan kepedulian dan perhatian
terhadap kemiskinan. Untuk daerah-daerah yang telah mengembangkan proses
perencanaan yang partispatoris dan inklusif, bantuan dapat diarahkan langsung
pada pengarusutamaan kemiskinan melalui proses AKP. Untuk daerah yang belum
mengembangkan proses yang partisipatoris dan inklusif, pengarusutamaan
Lembaga Penelitian SMERU, xvi Desember 2006
kemiskinan melalui proses AKP perlu didukung sebelumnya dengan upaya khusus
untuk mengembangkan proses yang partisipatoris dan inklusif tersebut.
• Bentuk dan cara memberikan penguatan kapasitas pemerintah kabupaten juga
harus mempertimbangkan kondisi politik di kabupaten yang bersangkutan,
termasuk netralitas pegawai pemda, ketegangan politik, tingkat intervensi politik
terhadap jalannya pemerintahan, dan proses politik yang mungkin memengaruhi
upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa
bantuan tidak boleh diberikan kepada daerah yang kondisi politiknya tidak
mendukung. AKP di daerah seperti ini berpotensi untuk meningkatkan perhatian
para pemangku kepentingan terhadap kemiskinan, walaupun upayanya akan lebih
sulit dan memakan waktu lebih lama.
• Proses AKP sejalan dengan gagasan partisipatoris yang tertuang dalam UU
Nomor 25 Tahun 2004, dan dapat diintegrasikan ke dalam proses perencanaan
pembangunan daerah, khususnya dalam musrenbang desa. Selain itu, AKP juga
dapat dijadikan bahan masukan bagi perencanaan sektoral dan penyusunan
rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.
Lembaga Penelitian SMERU, 1 Desember 2006
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada awal tahun 2003, Pemerintah Indonesia mulai menyusun strategi nasional
penanggulangan kemiskinan (SNPK) melalui proses inklusif yang melibatkan para
pemangku kepentingan (stakeholders) dari kalangan pemerintah dan nonpemerintah.
Ketentuan mengenai proses penyusunan tersebut telah digariskan dalam dokumen
interim strategi penanggulangan kemiskinan (I-SPK) yang diluncurkan pemerintah
pada Januari 2003. Selain penekanan pada proses penyusunan secara inklusif,
dokumen interim ini juga memberi penekanan mengenai pemanfaatan hasil analisis
kemiskinan partisipatoris (AKP) sebagai salah satu masukan bagi diagnosis
kemiskinan. Proses penyusunan SNPK tersebut telah memberikan pelajaran yang
berharga tentang bagaimana data kualitatif, khususnya yang diperoleh dari AKP, dan
data kuantitatif dari berbagai survei nasional dapat saling melengkapi dalam
penyusunan analisis kemiskinan maupun kaji-ulang kebijakan. Oleh karena itu,
Pemerintah Pusat mengharapkan agar pemda juga mengikuti proses serupa, yakni
memanfaatkan AKP dalam perumusan rencana pembangunan daerah dan
penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan daerah.
Dalam proses penyusunan SNPK, Lembaga Penelitian SMERU, dengan dukungan
JBIC (Japan Bank for International Cooperation), telah memberikan masukan
melalui studi konsolidasi analisis-analisis kemiskinan partisipatoris (AKP) yang telah
dilakukan oleh berbagai lembaga dalam kurun waktu 1999-2003.1 Selain telah
memberikan masukan yang signifikan dalam proses penyusunan SNPK, hasil
penelaahan metodologi yang digunakan dalam berbagai AKP yang dikonsolidasikan
juga menghasilkan usulan tentang proses AKP untuk penyusunan strategi
penanggulangan kemiskinan daerah (SPKD). Dengan demikian, proses AKP
diharapkan akan mampu memberikan masukan yang signifikan dalam proses
perumusan kebijakan di tingkat daerah.
Sejalan dengan keinginan Pemerintah Indonesia untuk mendukung penyusunan
SPKD dan proses penyusunan dokumen perencanaan daerah yang partisipatoris dan
peka terhadap masalah kemiskinan, maka dianggap perlu untuk mengadvokasikan
pengintegrasian AKP dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah.
Karena sebagian besar pemda belum mengenal AKP, kajian ini dilaksanakan sebagai
upaya untuk melanjutkan penyusunan pedoman AKP bagi perumusan rencana
pembangunan daerah dan SPKD. Kajian ini juga dirancang sebagai proses uji coba
yang dilaksanakan bersama pemda kabupaten. Melalui kajian bersama pemda ini,
diharapkan dapat dikenali berbagai model pengintegrasian AKP dalam proses
penyusunan kebijakan dan program pembangunan daerah, serta model
pendampingan teknis bagi pemda dan para pemangku kepentingan (stakeholders) di
daerah pada umumnya.
1Hasil studi ini dituangkan dalam laporan berjudul ’Konsolidasi Kajian Kemiskinan Partisipatoris.’
Volume I: ’Memahami Suara Masyarakat Miskin: Masukan untuk Penyusunan Strategi Penanggulangan
Kemiskinan’ dan Volume II: ’Kajian Kemiskinan Partisipatoris untuk Penyusunan Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah.’
Lembaga Penelitian SMERU, 2 Desember 2006
1.2. Tujuan
Tujuan utama kajian ini adalah memperkenalkan dan membangun kapasitas daerah
dalam melaksanakan AKP dan memanfaatkan hasil AKP sebagai bahan masukan
bagi penyusunan rencana pembangunan daerah, termasuk penyusunan dokumen
SPKD. Pelaksanaan kajian ini didasarkan pada berbagai temuan dan rekomendasi
dari studi konsolidasi kajian kemiskinan partisipatoris yang dilakukan SMERU
dengan dukungan JBIC. Kajian ini akan melihat kapasitas daerah, khususnya pemda,
dalam penanggulangan kemiskinan dengan tujuan menghasilkan rekomendasi
mengenai bantuan teknis untuk peningkatan kapasitas daerah dalam penanggulangan
kemiskinan. Dalam kajian ini juga akan dilihat kondisi dan kebutuhan pembangunan
infrastruktur di daerah studi melalui proses AKP, dan memberikan masukan kepada
JBIC mengenai komponen yang layak untuk dibiayai oleh JBIC.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam kajian ini dilakukan berbagai kegiatan
sebagai berikut:
(1) Mempersiapkan bahan pelatihan AKP dan menyelenggarakan pelatihan bagi para
pemangku kepentingan yang relevan di daerah;
(2) Mempersiapkan rencana pelaksanaan AKP dan mendampingi Tim AKP daerah
dalam melaksanakan AKP;
(3) Mengkaji berbagai faktor yang memengaruhi kondisi kemiskinan, termasuk
kondisi sosial, infrastruktur fisik, akses terhadap pelayanan publik (pendidikan
dan kesehatan), dan akses terhadap peluang kerja dan usaha (termasuk kredit
mikro);
(4) Mengkaji kapasitas pemangku kepentingan di daerah (pemerintah dan
nonpemerintah) dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan
kemiskinan; dan
(5) Memberikan masukan bagi rencana pembangunan daerah dan dokumen SPKD,
serta memberikan rekomendasi bagi pengembangan kapasitas pemda.
1.3. Lokasi, Waktu, dan Mekanisme Pelaksanaan Kajian
Kajian ini dilaksanakan selama selama bulan, yaitu mulai April 2005 sampai dengan
Desember 2005. Persiapan di Jakarta dimulai April 2005 dan dilanjutkan dengan
kunjungan awal ke kabupaten studi pada Mei 2005. Kegiatan pelatihan dan
pelaksanaan AKP di desa-desa terpilih dilakukan dari Juli hingga Agustus 2005.
Selanjutnya, dilaksanakan serangkaian diskusi dengan para pemangku kepentingan
dan lokakarya akhir di kedua kabupaten studi pada November hingga Desember
2005. Akhirnya, pada pertengahan Januari 2006, diselenggarakan lokakarya nasional
di Jakarta sebagai forum untuk mendiskusikan dan menyebarluaskan hasil-hasil
kajian.
Kajian ini dilakukan di dua kabupaten, yaitu: (1) Kabupaten Bima di Provinsi Nusa
Tenggara Barat; dan (2) Kabupaten Tapanuli Tengah di Provinsi Sumatera Utara
(Gambar 1). Kedua kabupaten ini dipilih dengan mempertimbangkan kondisi
kemiskinan dan kesediaan pemerintah kabupaten untuk mendukung pelaksanaan
kajian. Meskipun kedua kabupaten ini memiliki angka kemiskinan yang relatif
tinggi, keduanya memiliki perbedaan karakteristik yang cukup mendasar.
Lembaga Penelitian SMERU, 3 Desember 2006
Kabupaten Bima terletak di bagian timur Indonesia dengan iklim kering, sedangkan
Kabupaten Tapanuli Tengah terletak di bagian barat Indonesia yang beriklim
basah. Oleh karena itu, kondisi kemiskinan di kedua daerah tersebut juga berbeda
dalam banyak hal.
Pada prinsipnya, kajian ini menerapkan pendekatan yang menekankan pada proses
pembelajaran bersama. Dalam hal ini SMERU bersama pemda kabupaten dan
unsur-unsur nonpemerintah mencoba mempelajari dan sekaligus melaksanakan
AKP dalam rangka penyusunan rencana pembangunan daerah. Pada awal kajian,
SMERU melakukan analisis tentang persepsi para pemangku kepentingan di
daerah, khususnya di tingkat kabupaten, mengenai kondisi kemiskinan di daerah
mereka. Selain itu, juga dilakukan tinjauan terhadap program pemda dalam rangka
penanggulangan kemiskinan dan proses perencanaan pembangunan yang sedang
berjalan.
Selanjutnya, bersama tim yang dibentuk oleh pemda dan lembaga nonpemerintah
lokal, yang selanjutnya disebut ”Tim AKP Kabupaten”, dilakukan proses
pembelajaran dan kajian bersama di tingkat desa. Kedua kegiatan ini dimaksudkan
untuk memperkenalkan proses AKP dan penggunaan berbagai alat bantu (tools)
dalam AKP. Selama kajian ini berlangsung, dilakukan tiga tahapan lokakarya di
tingkat kabupaten, yaitu pada awal kajian, setelah pelaksanaan konsultasi di tingkat
masyarakat desa, dan pada akhir kajian. Di samping itu, juga dilakukan serangkaian
diskusi dengan dinas dan sektor terkait. Melalui proses tersebut, SMERU bersama
dengan Tim AKP Kabupaten, dan berbagai pihak yang terlibat dalam rangkaian
diskusi di tingkat kabupaten, bersama-sama mempelajari proses AKP dan menjajaki
potensi pemanfaatan AKP dalam proses perencanaan di daerah. Penjelasan terinci
mengenai berbagai kegiatan tersebut akan diuraikan pada Bab II.
Kajian ini dilaksanakan oleh SMERU bersama dengan pemda kabupaten, dengan
dukungan JBIC. SMERU memberikan kontribusi berupa pelatihan mengenai analisis
kemiskinan partisipatoris (AKP) dan uji coba pelaksanaannya, serta pendampingan
dalam analisis hasil AKP. Sedangkan pemda kabupaten memberikan kontribusi
dalam bentuk:
1. Penugasan beberapa pegawai pemda dan lembaga nonpemerintah yang relevan
untuk mengikuti kegiatan kajian ini.
2. Memfasilitasi penyelenggaraan lokakarya yang akan melibatkan pemda dan para
pemangku kepentingan yang lain (LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama.
swasta, perguruan tinggi).
3. Memfasilitasi penyelenggaraan pelatihan dan pelaksanaan uji coba AKP di desadesa
terpilih.
4. Dukungan data dan informasi yang diperlukan.
Di samping itu, Bappenas, sebagai lembaga di tingkat pusat yang bertanggungjawab
terhadap proses perencanaan pembangunan, juga memberikan dukungan penuh
dalam kajian ini. Secara khusus, Bappenas memfasilitasi kunjungan awal ke daerah
kajian, memberikan berbagai informasi dan masukan yang relevan, berpartisipasi
dalam lokakarya akhir di tingkat kabupaten, dan memfasilitasi penyelenggaraan
lokakarya nasional.
Lembaga Penelitian SMERU, 4 Desember 2006
Gambar 1. Lokasi Kajian ”Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah
dalam Penanggulangan Kemiskinan Melalui AKP”
Lokasi Kajian
Gambar 5b. Persentase Penduduk
Kab. Tapanuli
Tengah, Sumut
Kab. Bima, NTB
Lokasi Kajian
Lembaga Penelitian SMERU, 5 Desember 2006
1.4. Struktur Laporan
Laporan ini menyajikan rangkuman dari keseluruhan proses yang telah dilaksanakan
selama kajian, hasil-hasil kajian, dan rekomendasi mengenai pemanfaatan AKP dalam
proses perencanaan pembangunan di daerah, khususnya dalam rangka pengarusutamaan
penanggulangan kemiskinan dan penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan.
Secara garis besar, laporan ini terdiri dari enam bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi informasi umum mengenai latar
belakang, tujuan, metodologi kajian, dan struktur laporan.
Bab II menyajikan penjelasan rinci mengenai tahapan kegiatan yang dilaksanakan
selama kajian berlangsung. Penjelasan ini diharapkan akan memberikan gambaran
mengenai proses pembelajaran bersama yang dilakukan selama kajian dan menjadi
contoh atau acuan bagi kegiatan-kegiatan sejenis yang dilaksanakan pada masamasa
yang akan datang.
Bab III menyampaikan hasil AKP di dua kabupaten studi, yaitu Kabupaten Bima
dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Hasil AKP yang disajikan di bab ini hanya
berupa ringkasan temuan utama. Adapun hasil lengkap dan terinci untuk tiap-tiap
desa lokasi AKP dan rangkuman hasil untuk masing-masing kabupaten disajikan
dalam laporan terpisah.
Bab IV mengulas kapasitas daerah dalam penanggulangan kemiskinan dilihat dari
sisi kelembagaan penanggulangan kemiskinan, program-program pembangunan
secara umum, maupun program dan proyek penanggulangan kemiskinan yang
telah dilaksanakan dan sedang direncanakan.
Bab V mendiskusikan proses perencanaan pembangunan yang dilaksanakan di
kedua kabupaten studi dan beberapa altermatif pengintegrasian AKP dalam proses
yang telah berjalan tersebut. Beberapa alternatif yang disajikan dalam bab ini
merupakan hasil pemikiran pemda, khususnya Bappeda, setelah mengikuti proses
pelaksanaan AKP di kabupaten masing-masing.
Bab VI merupakan bab penutup yang menyajikan beberapa kesimpulan dan
rekomendasi umum mengenai kondisi kemiskinan di kedua kabupaten studi dan
alternatif kebijakan penanggulangan kemiskinan. Bab ini juga menguraikan
berbagai faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya penguatan kapasitas daerah,
dan dalam proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah, serta
berbagai alternatif pengintegrasian AKP dalam proses perencanaan pembangunan
di kabupaten.
Lembaga Penelitian SMERU, 6 Desember 2006
II. PROSES PELAKSANAAN KAJIAN
Proses pelaksanaan kajian ini terbagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan
(tahap 1), tahap pelaksanaan (tahap 2), dan tahap analisis dan pelaporan (tahap 3).
Tahapan kegiatan tersebut disajikan pada Gambar 2 dan dijelaskan pada subbab
berikut ini.
Gambar 2. Tahapan Kegiatan Kajian ”Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah
dalam Penanggulangan Kemiskinan melalui AKP”
2.1. Pelaksanaan Kajian Tahap 1
2.1.1. Persiapan Kajian
Persiapan kajian dimulai dengan penyusunan rencana kerja secara terperinci, serta
konsultasi dan diskusi dengan Bappenas dan berbagai lembaga lain yang relevan di
Jakarta. Selain itu, tim peneliti juga mempersiapkan perizinan serta kontak dengan
pemerintah provinsi dan kabupaten terpilih, yaitu Provinsi Sumatera Utara dan
Kabupaten Tapanuli Tengah, serta Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten
Bima. Pada saat yang bersamaan, mulai dilakukan penyusunan kurikulum dan materi
pelatihan AKP yang kemudian disempurnakan setelah mendapat masukan
berdasarkan konsultasi dengan lembaga lain di Jakarta dan hasil kajian awal di daerah
studi.
Konsultasi dan diskusi dengan berbagai lembaga yang relevan di Jakarta dimaksudkan
untuk mengetahui kegiatan dari berbagai lembaga/program yang berkaitan dengan
AKP dan penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan daerah, serta untuk
mendapatkan pelajaran dari pengalaman mereka. Ada empat lembaga yang
diwawancarai, yaitu P2TPD (Prakarsa Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah),
URDI (Urban and Regional Development Institute), CESS (Center for Economic
and Social Studies), dan UNDP (United Nations Development Programs). P2TPD
adalah proyek kerja sama pemerintah Indonesia dan Bank Dunia yang telah
memberikan bantuan teknis kepada 15 kabupaten untuk menyusun rencana tindak
penanggulangan kemiskinan melalui proses AKP. URDI bekerjasama dengan TUGIUNDP
(The Urban Governance Initative – United Nations Develoment Programs)
Tahap 1:
(April - Mei 2005)
• Persiapan
• Kajian awal
• Lokakarya Awal
• Penyusunan Materi
Pelatihan
Tahap 2:
( J uni - Ags. 2005)
• Pelaksanaan
Pelatihan
• Pelaksanaan
AKP dengan
Komunitas
• Lok akarya Hasil
AKP
Tahap 3:
(Sept - Des. 2005)
• Analisis Hasil
AKP
• Penyusunan
Rekomendasi
• Lokakarya
Kabupaten dan
Nasional
Lembaga Penelitian SMERU, 7 Desember 2006
memberikan bantuan teknis kepada Kota Bandar Lampung untuk melaksanakan
pemetaan kemiskinan secara partisipatoris di tiga kecamatan. Selain itu, dengan
dukungan ADB (Asian Development Bank), URDI juga membantu pemerintah Kota
Bandar Lampung menyusun perencanaan partisipatoris penanggulangan kemiskinan.
CESS bekerjasama dengan ODI-DFID telah menyusun alat bantu AKP untuk
pengarusutamaan kemiskinan bagi MFP (Multistakeholders Forestry Program).
Sementara itu, UNDP bekerja sama dengan Kantor Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Masyarakat, baru memulai program yang memberikan bantuan teknis
kepada lima provinsi yang mengalami konflik, untuk menyusun strategi
penanggulangan kemiskinan dan pencapaian kesepakatan milenium (Millenium
Development Goals). Uraian tentang kegiatan lembaga-lembaga ini disajikan pada
Lampiran 1.
Di antara keempat lembaga yang dikunjungi tersebut, hanya P2TPD yang telah
melaksanakan kegiatan AKP secara lengkap dengan menggunakan pendekatan yang
serupa dengan kegiatan dalam kajian ini. Namun, P2TPD menggunakan AKP
sebagai prasyarat bagi perumusan rencana aksi yang sebagian akan didanai oleh Bank
Dunia. Dalam penyusunan rencana aksi penangulangan kemiskinan, proyek ini
menghadapi masalah dalam memadukan antara data kualitatif AKP dan hasil analisis
kuantitatif karena adanya beberapa data yang bertentangan. URDI hanya
memanfaatkan alat bantu klasifikasi kesejahteraan dan menerapkan pendekatan
diskusi terbuka dengan masyarakat yang menitikberatkan pada penjaringan informasi
tentang kebutuhan masyarakat. CESS telah melakukan pelatihan AKP, disertai uji
coba lapangan, dengan menggunakan beberapa alat bantu yang serupa dengan
P2TPD dan kajian ini. Pelaksanaan AKP akan dilaksanakan oleh kemitraan MFP
yang telah dilatih, tetapi sampai dengan diskusi dilakukan dengan CESS, kegiatan
AKP belum dilaksanakan. Adapun UNDP telah merekrut dan melatih fasilitator
daerah. Inisiatif ini ditujukan untuk mengadvokasikan penggunaan AKP dalam
penyusunan SPKD di daerah-daerah pascakonflik. Namun, pelatihan yang telah
dilaksanakan belum secara khusus memberikan keterampilan teknis mengenai
pelaksanaan AKP.
2.1.2. Kunjungan Awal ke Kabupaten Studi
Setelah melaksanakan persiapan dan konsultasi dengan lembaga-lembaga di tingkat
pusat, tim peneliti melaksanakan kajian awal di kedua kabupaten terpilih secara
bersamaan pada tanggal 26 April hingga 5 Mei 2005. Pada kunjungan ini dilakukan
konsultasi mengenai rencana kajian dengan pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten. Tim peneliti juga mempelajari kelembagaan penanggulangan kemiskinan
yang ada, berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, serta mekanisme perencanaan
yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh pemda, khususnya di tingkat kabupaten.
Untuk memperdalam pemahaman mengenai persepsi para pemangku kepentingan di
tingkat kabupaten mengenai kondisi dan permasalahan kemiskinan, serta upaya
penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan, dilakukan serangkaian diskusi
dengan unit-unit kerja yang relevan di lingkungan pemerintahan kabupaten, dan
beberapa lembaga nonpemerintah. Selama kunjungan di Kabupaten Tapanuli
Tengah dilakukan wawancara dengan 13 dinas/instansi pemerintah dan satu
lembaga nonpemerintah. Dalam kunjungan ke Kabupaten Bima dilakukan
Lembaga Penelitian SMERU, 8 Desember 2006
wawancara dengan 12 dinas/instansi pemerintah dan tujuh lembaga nonpemerintah
(lihat Lampiran 2).
Pada kunjungan awal ke kabupaten-kabupaten studi, juga diselenggarakan lokakarya
partisipatoris mengenai kondisi kesejahteraan masyarakat kabupaten. Peserta
lokakarya awal ini adalah berbagai pemangku kepentingan di tingkat kabupaten, baik
yang telah diwawancarai maupun lembaga lainnya yang terkait. Lokakarya di
Kabupaten Tapanuli Tengah dilaksanakan pada 2 Mei 2005, yaitu sebelum dilakukan
wawancara dengan lembaga-lembaga pemerintah dan nonpemerintah. Lokakarya ini
bertempat di Ruang Pertemuan Bappeda dan dihadiri oleh 27 peserta, yang terdiri
dari 25 peserta dari instansi pemerintah dan dua peserta dari lembaga
nonpemerintah. Lokakarya awal di Kabupaten Bima dilaksanakan pada 4 Mei 2005,
setelah dilakukan wawancara dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah.
Lokakarya ini bertempat di Kantor Bappeda dengan jumlah peserta sebanyak 25
orang, yang meliputi 18 peserta dari instansi pemerintah dan tujuh peserta dari
lembaga nonpemerintah. Peserta diskusi dari kalangan pemda adalah staf yang
dianggap memahami kondisi kabupaten dengan baik. Kepala dinas atau pejabat
struktural dengan jabatan yang relatif tinggi sengaja tidak dilibatkan untuk
menghindari dominasi dalam diskusi dan menjamin keterbukaan peserta dalam
menyampaikan pendapat.
Lokakarya yang mendiskusikan kondisi kesejahteraan masyarakat kabupaten ini
merupakan awal dari rangkaian kegiatan AKP di Kabupaten Tapanuli Tengah dan
Kabupaten Bima. Tujuan lokakarya ini adalah untuk merumuskan pandangan
kolektif para pemangku kepentingan mengenai:
• Faktor-faktor yang memengaruhi kondisi kesejahteraan/kemiskinan di tingkat
kabupaten dengan menggunakan pendekatan penghidupan yang berkelanjutan
melalui analisis pentagonal aset. Dalam analisis ini dibahas faktor-faktor positif
dan negatif dari berbagai aset yang ada di kabupaten masing-masing, yang
dikelompokkan ke dalam lima jenis yaitu: 1) sumber daya manusia (SDM), 2)
sumber daya alam (SDA), 3) ekonomi/keuangan, 4) fisik/infrastruktur, dan 5)
hubungan sosial yang memengaruhi kesejahteraan/kemiskinan masyarakat di
masing-masing kabupaten.
• Permasalahan utama yang dihadapi kabupaten sehubungan dengan upaya
penanggulangan masalah kemiskinan.
• Perbandingan kondisi penghidupan masyarakat antarkecamatan untuk
menentukan lokasi konsultasi (AKP) di tingkat komunitas (masyarakat).
Melalui diskusi ini juga diharapkan akan terbangun kesamaan cara pandang antara
para pemangku kepentingan dalam melihat kondisi kesejahteraan/kemiskinan
masyarakat di daerahnya.
Secara umum, diskusi dan interaksi di antara peserta lokakarya berjalan baik, namun
diskusi di Kabupaten Bima berjalannya relatif lebih lancar dibandingkan dengan
Kabupaten Tapanuli Tengah. Ada dua faktor yang diperkirakan memengaruhi
kelancaran diskusi tersebut, yaitu keterbiasaan dengan pendekatan partisipatoris dan
pemahaman peserta terhadap kajian dan maksud kajian. Dalam beberapa tahun
terakhir, Kabupaten Bima telah mengadopsi pendekatan perencanaan pembangunan
yang partisipatoris sehingga interaksi dan diskusi antara lembaga pemerintah dan
Lembaga Penelitian SMERU, 9 Desember 2006
nonpemerintah sudah mulai melembaga dan peserta diskusi cukup terbiasa
mengemukakan pendapat. Pada pihak lain, pemda dan lembaga nonpemerintah di
Kabupaten Tapanuli Tengah belum mengenal pendekatan partisipatoris dan masih
terbiasa dengan petemuan yang bersifat pengarahan dari atasan. Oleh karena itu,
peserta lokakarya pada awalnya agak ragu-ragu untuk mengemukakan pendapat
mereka.
Pelaksanaan lokakarya di Kabupaten Bima yang diselanggarakan sesudah wawancara
dengan berbagai dinas, tampaknya juga memperlancar jalannya diskusi karena
sebagian peserta sudah mengenal tim peneliti dan maksud diskusi. Dari pengalaman
ini, dapat ditarik pelajaran tentang arti penting pengenalan dan institusionalisasi
pendekatan partisipatoris. Selain itu, juga penting untuk menyusun urutan kegiatan
secara tepat. Sebaiknya, diskusi individual dengan berbagai lembaga dilaksanakan
sebelum lokakarya awal.
2.2. Pelaksanaan Kajian Tahap 2
Ada tiga kegiatan utama yang dilakukan pada tahap 2, yaitu: (1) pelatihan, yang
disebut “Pembelajaran Bersama tentang AKP”; (2) pelaksanaan AKP di tingkat desa,
dan (3) lokakarya “Hasil Awal AKP di Tingkat Desa”. Sebelum pelaksanaan kegiatan
pelatihan, pemda dan SMERU memilih peserta pelatihan di masing-masing
kabupaten. Peserta pelatihan di Kabupaten Tapanuli Tengah berjumlah 11 orang,
yaitu sembilan orang staf pemda, dan dua orang dari unsur nonpemerintah. Peserta
pelatihan di Kabupaten Bima berjumlah 13 orang, yaitu enam orang staf pemda, dan
tujuh orang dari unsur nonpemerintah2 (lihat Lampiran 3). Pada saat yang
bersamaan, SMERU menyempurnakan kurikulum dan materi pelatihan AKP
berdasarkan masukan dari hasil kajian tahap 1. Masukan yang cukup signifikan dari
hasil kajian awal pada tahap 1 adalah masih terbatasnya pemahaman para pemangku
kepentingan di tingkat kabupaten mengenai kompleksitas fenomena kemiskinan.
Oleh karena itu, materi mengenai konsep kemiskinan dan hasil analisis awal kondisi
kemiskinan berdasarkan data sekunder yang tersedia kemudian dimasukkan sebagai
bagian dari bahan pelatihan dan disampaikan pada hari pertama pelatihan.
2.2.1. Pelatihan AKP
Kegiatan “Pembelajaran Bersama tentang AKP” dimaksudkan untuk: (i) menambah
pemahaman tentang konsep dasar kemiskinan, (ii) meningkatkan pemahaman
tentang pentingnya penggunaan pendekatan partisipatoris dalam menganalisis
kemiskinan, (iii) meningkatkan keterampilan teknis untuk melaksanakan AKP,
khususnya dalam melakukan konsultasi/diskusi di tingkat komunitas (masyarakat).
Pelatihan ini dilaksanakan selama enam hari. Di Kabupaten Tapanuli Tengah
kegiatan ini dilaksanakan pada 5 hingga 11 Juli 2005 di kantor Bappeda. Adapun
pelatihan di Kabupaten Bima dilaksanakan pada 7 hingga 13 juli 2005 di Hotel Lila
Graha.
2Dua di antara tujuh peserta dari lembaga nonpemerintah ini berasal dari proyek PROMIS-NT yang
didukung oleh GTZ, yang telah memperkenalkan perencanaan partisipatoris di Kabupaten Bima.
Lembaga Penelitian SMERU, 10 Desember 2006
Materi pelatihan/pembelajaran bersama tentang AKP tersebut meliputi:3
(1) Hari ke-1: (i) pengantar konsep kemiskinan, (ii) analisis kemiskinan dan
kerangka AKP, (iii) diskusi kondisi kemiskinan di kabupaten.
(2) Hari ke-2 sampai dengan ke-4: (i) tehnik wawancara, diskusi kelompok dan
fasilitasi, (ii) penggunaan alat-alat bantu (tools), (iii) pelaksanaan AKP dan
pelaporan.
(3) Hari ke-5 dan ke-6: uji coba lapangan. Uji coba lapangan di Kabupaten Tapanuli
Tengah dilaksanakan di Desa Jago-Jago, sedangkan uji coba lapangan di
Kabupaten Bima dilaksanakan di Desa Belo.
Secara umum, kegiatan pelatihan berjalan lancar dan diikuti secara penuh oleh
sebagian besar anggota Tim AKP. Namun, di Kabupaten Tapanuli Tengah, ada
beberapa peserta yang terpaksa meninggalkan kelas karena urusan dinas. Dalam kasus
ini, tampaknya tempat pelaksanaan pelatihan, yaitu di kantor Bappeda, kurang
mendukung konsentrasi para peserta. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran di tempat
yang lebih terisolasi dari kegiatan dinas sangat diperlukan agar peserta betul-betul
dapat berkonsentrasi, mengingat sebagian besar bahan pelatihan adalah hal yang baru
bagi peserta.
Pada umumnya materi pelatihan disampaikan dengan cara memberikan penjelasan
dan langsung dilanjutkan dengan ”role play”. Metode ini cukup menarik bagi peserta
sehingga mereka tidak merasa bosan walaupun pelatihan dilaksanakan hingga sore
hari. Berdasarkan penilaian peserta pelatihan dan instruktur yang terlibat,
pelaksanaan pelatihan dan partisipasi peserta pelatihan cukup baik. Hasil evaluasi
yang dilaksanakan setelah pelaksanaan AKP di desa memperlihatkan bahwa sebagian
besar peserta menilai bahwa materi pelatihan sudah cukup memadai. Ada beberapa
alat bantu yang dinilai sangat penting dan ada yang dianggap kurang begitu penting.
Di antara alat bantu yang dianggap penting adalah ”Prioritas Permasalahan
Kemiskinan dan Alternatif Solusi”, ”Pemetaan Sosial dan Sumber daya”, ”Sebab dan
Akibat Kemiskinan” dan ”Klasifikasi Kesejahteraan”. Sementara itu, alat bantu yang
dianggap kurang penting adalah ”Kalender Harian” dan ”Analisis Gender”.
Dari segi lamanya pelaksanaan pelatihan, kebanyakan peserta menilai bahwa waktu
untuk teori sudah mencukupi, tetapi waktu untuk uji coba lapangan masih kurang.
Oleh karena itu, banyak peserta yang mengemukakan bahwa pelaksanaan AKP di
desalah yang sebenarnya menjadi tempat uji coba bagi mereka. Hal ini tampaknya
sejalan dengan hasil evaluasi yang disampaikan para instruktur, yang secara umum
menyoroti bahwa sebagian peserta terlalu yakin akan penguasaan berbagai alat bantu
dan teknik fasilitasi, tetapi ternyata kebingungan pada saat menerapkannya.
Hasil evaluasi instruktur terhadap kemampuan peserta yang dilakukan setelah
pelaksanaan latihan, antara lain menggarisbawahi masih lemahnya kemampuan
dalam pendalaman isu saat diskusi, kurangnya kedisiplinan dan kecermatan dalam
mencatat hasil diskusi, dan kecenderungan untuk agak mengarahkan dalam diskusi.
Oleh karena itu, proses pembelajaran terus berlangsung selama pelaksanaan AKP di
desa, dan proses ini menjadi bagian yang sangat penting dari keseluruhan proses
pembelajaran pelaksanaan AKP.
3Semua materi pelatihan dapat dilihat di Laporan Fase 2, Volume III.
Lembaga Penelitian SMERU, 11 Desember 2006
Berdasarkan pengalaman tersebut, perlu dilakukan beberapa perbaikan dalam
pelatihan AKP, di antaranya:
• Pelatihan sebaiknya diselenggarakan di lokasi yang jauh dari kantor-kantor
pemerintahan agar peserta dapat berkonsentrasi penuh, khususnya peserta dari pemda.
• Untuk mengatasi masalah kelemahan fasilitator dalam memfasilitasi dan menggali
informasi, serta kelemahan dalam mencatat hasil diskusi, kurikulum pelatihan perlu
diubah. Sebaiknya, pelatihan dilaksanakan selama delapam sampai 10 hari, dengan
proporsi teori (di kelas) sama dengan proporsi praktik, yang terdiri dari uji coba
lapangan, pelaporan dan pencatatan, tinjaun, dan umpan-balik/refleksi. Salah satu
kemungkinan jadwal pelatihan adalah: dua hari di kelas (membahas konsep
kemiskinan, permasalahan kemiskinan, teknik fasilitasi dan wawancara, pencatatan
dan satu atau dua alat bantu); satu hari uji coba lapangan dengan penekanan pada
tehnik fasilitasi, wawancara, dan pencatatan, dan satu hari tinjauan, dan umpanbalik/
refleksi; dua hari di kelas untuk membahas berbagai alat bantu lainnya; satu
atau dua hari uji coba lapangan yang menekankan pada penggunaan alat-alat
bantu; dan diakhiri dengan sesi umpan-balik/refleksi.
• Fokus dan lamanya uji coba lapangan harus disesuaikan dengan kemampuan awal
peserta dalam penggunaan pendekatan partisipatoris. Kebanyakan pegawai
pemerintah ternyata tidak terbiasa dengan pendekatan partisipatoris dan belum
memiliki kemampuan untuk memfasilitasi diskusi sehingga diperlukan lebih
banyak waktu untuk meningkatkan kemampuan mereka dengan lebih banyak
praktik langsung.
• Kurikulum pelatihan yang disusun dalam kajian ini dimaksudkan untuk memberikan
pemahaman dan kemampuan dasar untuk melakukan kajian kemiskinan secara
menyeluruh sehingga hampir semua alat bantu diajarkan. Jika AKP ditujukan untuk
menggali isu-isu tertentu, dapat dipilih beberapa alat bantu yang paling relevan.
2.2.2. Kegiatan AKP di Desa
Kegiatan AKP di tingkat desa ditujukan untuk meningkatkan kemampuan Tim AKP
dalam melaksanakan AKP melalui praktik lapangan, dengan bimbingan SMERU.
Hasil kegiatan ini juga dijadikan masukan untuk penyusunan kebijakan di tingkat
kabupaten. Kegiatan AKP di tingkat desa dilaksanakan secara bersamaan di tiga desa
terpilih di masing-masing kabupaten. Lokasi AKP di Kabupaten Tapanuli Tengah
meliputi Desa Sipange, Desa Kinali, dan Desa Mombang Boru, sedangkan untuk
Kabupaten Bima meliputi Desa Nunggi, Desa Waworada, dan Desa Doridungga (lihat
Gambar 3 dan Gambar 4). Desa-desa tersebut dilipih agar dapat melihat kondisi
kemiskinan di daerah dengan tipologi penghidupan yang berbeda-beda.
Di Kabupaten Tapanuli Tengah, Desa Sipange adalah desa semiurban yang
didominasi oleh masyarakat dengan mata pencaharian di sektor pertanian sawah dan
kebun. Desa Kinali adalah desa pantai yang penghidupan masyarakatnya ditopang
oleh usahatani sawah dan nelayan, sedangkan Desa Mombang Boru adalah desa
perkebunan yang sebagian penduduknya juga hidup dari pertanian sawah. Di
Kabupaten Bima, Desa Nunggi adalah daerah pertanian yang juga mengandalkan
penghidupan dari beternak sapi; Desa Waworada adalah desa pantai dengan mata
pencahaian campuran antara petani tambak, nelayan, dan pertanian sawah; dan Desa
Doridungga adalah desa perkebunan yang terletak di dataran tinggi di sekitar hutan.
Profil desa-desa tersebut disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Lembaga Penelitian SMERU, 12 Desember 2006
Gambar 3. Lokasi Tiga Desa AKP di Kabupaten Tapanuli Tengah
Kec. Lumut, Sibolga, dan Sibabangun
Kec. Barus
1. Desa Kinali
(pantai nelayan, sawah)
2. Desa Mombang Boru
(perkebunan dan persawahan
3 Desa Sipange
(semi-urban,
persawahan
dan perkebunan
Desa Jago-jago – Kec. Badiri
(uji coba)
Lembaga Penelitian SMERU, 13 Desember 2006
Gambar 4. Lokasi Tiga Desa AKP di Kabupaten Bima
Propinsi NTB
1. Desa Nunggi
(persawahan,
dataran rendah)
2. Desa Doridungga
(dataran tinggi,
perkebunan sekitar
hutan)
3. Desa Waworada
(pantai, nelayan,
tambak, sawah)
Desa Belo – Kec, Belo (Uji
coba)
Lembaga Penelitian SMERU, 14 Desember 2006
Satu regu Tim AKP terdiri dari empat hingga lima orang yang sudah mengikuti
pelatihan, ditambah satu peneliti SMERU. Mereka tinggal bersama masyarakat di
desa lokasi AKP selama lima hingga tujuh hari.4 Kegiatan dimulai dengan perkenalan
dan diskusi mengenai ”Klasifikasi Kesejahteraan Masyarakat” dan diakhiri dengan
kegiatan ”Pleno” yang menyampaikan semua hasil diskusi kepada masyarakat desa.
Rincian kegiatan selama di desa disajikan pada Lampiran 4. Diskusi dilaksanakan di
rumah penduduk desa dengan jadwal yang disepakati bersama, menyesuaikan dengan
jadwal kegiatan penduduk. Oleh karena itu, sebagian besar diskusi dilaksanakan pada
sore dan malam hari.
Tabel 1. Profil Desa-Desa AKP di Kabupaten Tapanuli Tengah
Desa Sipange
(Kec. Tukka)
Desa Mombangboru
(Kec. Sibabangun)
Desa Kinali
(Kec. Barus)
Luas (Km2) 36,94 43,25 1,41
Penduduk (Total) 2.489 1.023 378
Laki-Laki 1.341 518 205
Perempuan 1.148 505 173
Jumlah Rumah Tangga 527 205 92
Topografi Dataran dikelilingi
perbukitan
Daerah dataran dan
gunung-gunung
Dataran dan pantai
Mata Pencaharian Utama Petani sawah
Buruh tani
Pekebun karet
Petani sawah
Pekebun karet, kelapa
sawit dan jeruk
Buruh tani
Petani sawah
Nelayan
Aksesibilitas 30 menit dari Pandan
(Ibukota Tapanuli
Tengah)
Dua jam dengan
mobil dari Pandan
Tiga jam dengan mobil
dari Pandan, dilanjutkan
dengan perahu kecil
untuk menyeberang
sungai
Tabel 2. Profil Desa-Desa AKP di Kabupaten Bima
Desa Nunggi
(Kec. Wera)
Desa Doridungga
(Kec. Donggo)
Desa Waworada
(Kec. Langgudu)
Luas 1514 Ha.
Penduduk (Total) 3.904 2.642 2.702
Laki-laki 1.808 1.293 1.320
Perempuan 2.096 1.349 1.382
Jumlah Rumah Tangga 872 629 827
Topografi Dataran Pegunungan Dataran, pantai
Mata pencaharian Utama Petani
Buruh tani
Peternak (Sapi)
Petani
Buruh tani
Nelayan
Petani
Buruh tani/Buruh kapal
ikan
Aksesibilitas Satu jam dengan
mobil dari Bima
Dua jam dengan
mobil atau 15 menit
dengan perahu boat,
dilanjutkan dengan
sepeda motor dari
Bima selama 30 menit
Satu setengah jam
dengan mobil dari Bima
4Hanya tim Desa Doridungga yang tidak menginap di desa, tetapi menginap di ibukota kecamatan
karena langkanya air di desa tersebut.
Lembaga Penelitian SMERU, 15 Desember 2006
Kegiatan AKP di desa berjalan lancar. Di Kabupaten Bima, semua anggota Tim AKP
mengikuti kegiatan di desa secara penuh. Namun, di Kabupaten Tapanuli Tengah,
dari 11 anggota Tim AKP, lima orang tidak mengikuti secara penuh karena ada
penugasan lain atau ada keperluan pribadi. Oleh karena itu, pembagian regu per desa
diatur sedemikian rupa sehingga minimal ada tiga orang peneliti (temasuk Tim AKP
dan peneliti SMERU) yang berada di desa setiap hari, sepanjang pelaksanaan AKP.
Meskipun secara umum hal ini tidak mengganggu kegiatan AKP di desa, namun
ketidakikutsertaan beberapa anggota Tim AKP dalam beberapa hari pelaksanaan
AKP di desa ini memengaruhi pemahaman dan keterampilan anggota tim yang
bersangkutan. Hal ini terlihat pada saat dilakukan kegiatan refleksi dan perumusan
hasil AKP yang dilaksanakan pada Tahap 3 kegiatan kajian ini.
Secara umum, masyarakat desa menyambut baik dan mengikuti kegiatan diskusi
dengan antusias. Meskipun pada awalnya ada pertanyaan dan harapan bahwa
kegiatan ini akan terkait dengan bantuan, setelah diberikan penjelasan masyarakat
bisa memahami tujuan kegiatan ini. Tantangan terbesar dalam pelaksanaan FGD
adalah dalam hal pengaturan jadwal untuk berdiskusi dengan masyarakat miskin.
Karena jadwal harus disesuaikan dengan kesibukan mereka, sebagian besar diskusi
dilaksanakan pada sore dan malam hari. Tantangan yang lain adalah perbedaan
bahasa. Sebagian besar peserta diskusi tampaknya lebih terbuka jika diskusi dilakukan
dalam bahasa lokal meskipun mereka dapat berbahasa Indonesia. Untuk mengatasi
kendala ini, sebagian besar diskusi difasilitasi oleh anggota tim yang menguasai
bahasa lokal.
Beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari pelaksanaan AKP ini adalah:
1. Karena informasi yang digali dari FGD, wawancara, dan pengamatan langsung
yang dilakukan dalam AKP saling berkaitan, pelaksana AKP harus mempunyai
komitmen tinggi dan ketertarikan terhadap permasalahan kemiskinan. Sangat
disarankan agar pelaksana AKP mengikuti seluruh proses AKP untuk menjamin
dilakukannya triangulasi terhadap informasi yang diperoleh dan untuk
mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai kondisi lokal.
2. Di beberapa daerah, ternyata cukup sulit untuk menugaskan pegawai pemda
untuk tinggal di desa selama tujuh hari. Untuk mengatasi masalah ini, AKP dapat
dipersingkat dengan cara memilih beberapa alat bantu yang dinilai paling
relevan, atau membaginya menjadi dua atau tiga kali kunjungan, masing-maisng
dua hari. Namun modifikasi ini tidak boleh mengabaikan proses triangulasi.
3. Dari semua alat bantu yang diajarkan dalam pelatihan AKP, beberapa dinilai
sangat penting untuk proses perencanaan dan alat-alat ini dapat dikelompokkan
dalam kelompok yang harus digunakan, sedangkan yang lainnya dapat menjadi
pilihan tergantung isu yang akan digali. Di antara alat-alat bantu yang wajib
tersebut adalah: klasifikasi kesejahteraan, analisis kecenderungan, pemetaan sosial
dan sumber daya yang dikombinasikan dengan transect, analisis sumber mata
pencaharian, kalender musiman, diagram venn, prioritas masalah dan alternatif
pemecahan, dan sebab dan akibat kemiskinan.
4. Pembentukan tim pelaksana AKP yang ditugaskan di satu lokasi tertentu harus
mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan masing-masing anggotanya
sehingga tim akan terdiri dari fasilitaor dan pencatat yang baik. Faktor lain yang
perlu dipertimbangkan adalah keterkaitan antara latar belakang teknis (sector)
dari anggota tim dengan tipologi penghidupan di lokasi AKP. Seseorang dengan
Lembaga Penelitian SMERU, 16 Desember 2006
latar belakang perikanan, mislanya, lebih baik ditugaskan di komunitas nelayan
sehingga dia sudah memahami hal-hal teknis dan mampu menggali permasalahan
secara lebih mendalam.
5. AKP yang dilaksanakan dalam kajian ini dirancang untuk memahami kemiskinan
secara menyeluruh dan untuk mencari faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan di masing-masing lokasi, tetapi tidak ditujukan untuk melihat isu
tertentu. Namun, dimungkinkan untuk mengubah atau menyederhanakan proses
AKP agar hanya mengarah ke isu tertentu, seperti: pertanian, kesehatan,
pendidikan, akses permodalan (pinjaman/kredit), atau infrastruktur.
2.2.3. Lokakarya Hasil Awal AKP di Desa
Sekitar tiga hari setelah kegiatan AKP di desa-desa terpilih berakhir, dilaksanakan
lokakarya di tingkat kabupaten, yaitu “Lokakarya Hasil Awal AKP di Desa”.
Lokakarya tersebut bertujuan untuk: (i) menyampaikan hasil-hasil FGD dengan
masyarakat, (ii) mendapatkan tanggapan, masukan, dan informasi pendukung lainnya
untuk memperkaya analisis kemiskinan, serta (iii) mendiskusikan isu-isu utama yang
berkaitan dengan permasalahan dan kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Lokakarya di Kabupaten Tapanuli Tengah dilaksanakan pada 29 Juli 2005, dengan
dihadiri 50 orang peserta (40 orang dari instansi pemerintah, dan 10 orang dari
lembaga nonpemerintah). Lokakarya di Kabupaten Bima dilaksanakan pada 1
Agustus 2005, dengan dihadiri 42 orang peserta (27 orang dari instansi pemerintah,
dan 15 orang dari lembaga nonpemerintah).
Secara umum, kedua lokakarya tersebut berjalan baik dan diikuti dengan cukup
antusias oleh peserta. Di Kabupaten Tapanuli Tengah, hasil awal dari AKP desa
disampaikan oleh SMERU karena anggota Tim AKP yang sebagian besar berasal dari
dinas-dinas di lingkungan pemda masih merasa segan untuk menyampaikan beberapa
hasil AKP yang secara tidak langsung menunjukkan kelemahan atau mengkritisi
kebijakan dan program dinas-dinasnya. Sebaliknya, di Kabupaten Bima, hasil awal
AKP disampaikan oleh anggota Tim AKP. Beberapa isu mendapatkan perhatian dan
menjadi bahan diskusi yang cukup serius serta memunculkan berbagai informasi
tambahan yang cukup relevan.
2.3. Pelaksanaan Kajian Tahap 3
2.3.1. Analisis dan Penyusunan Rekomendasi Kebijakan
Kegiatan yang dilaksanakan pada Tahap 3 ini dimulai dengan pengkonsolidasian dan
analisis hasil berbagai lokakarya dan AKP di desa-desa terpilih serta hasil analisis data
sekunder yang telah dilaksanakan pada tahap 1 dan 2. Analisis tersebut ditujukan
untuk mengidentifikasi isu-isu strategis yang bersifat lokal-spesifik di masing-masing
desa, serta isu strategis yang dapat ditarik menjadi isu yang lebih luas ke tingkat
tipologi wilayah dan ke tingkat kabupaten. Berdasarkan identifikasi berbagai isu dan
permasalahan tersebut, dirumuskan rekomendasi alternatif kebijakan yang akan
menjadi bahan masukan bagi pemda dalam rangka penyusunan rencana
pembangunan daerah dan dokumen SPKD. Perumusan rekomendasi juga dilakukan
Lembaga Penelitian SMERU, 17 Desember 2006
untuk memberi masukan dalam rangka pengembangan kapasitas pemda dalam kaitan
dengan pengarusutamaan upaya penanggulangan kemiskinan di daerah.
Pada awalnya analisis dilakukan oleh peneliti SMERU untuk kemudian
dikonsultasikan dengan Tim AKP Kabupaten dan para pemangku kepentingan yang
relevan di tingkat kabupaten. Karena di Kabupaten Bima dibutuhkan masukan untuk
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang pada bulan
September 2005, maka SMERU menyusun rangkuman sementara isu-isu strategis dan
rekomendasi alternatif kebijakan berdasarkan hasil AKP di tingkat desa dan
menyerahkannya ke Bappeda Kabupaten Bima pada bulan September 2005. Hasil
kompilasi dan analisis di Kabupaten Bima dan di Kabupaten Tapanuli Tengah
dikonsultasikan dengan Tim AKP Kabupaten dan para pemangku kepentingan pada
November dan Desember 2005 melalui serangkaian diskusi di tingkat Kabupaten
yang terdiri dari:
1. Diskusi dengan Tim AKP Kabupaten untuk melakukan refleksi terhadap kegiatan
AKP yang telah dilaksanakan di tingkat desa, mendiskusikan hasil analisis dan
menyusun rekomendasi alternatif kebijakan.
2. Diskusi terbatas dengan dinas-dinas terkait yang ditujukan untuk mendiskusikan
isu-isu strategis yang telah dirumuskan guna mendapatkan masukan dan informasi
tambahan yang relevan, termasuk mengenai kebijakan dan program yang terkait
serta alternatif kebijakan yang dibutuhkan di masa mendatang.
3. Lokakarya akhir di tingkat kabupaten dengan mengundang para pemangku
kepentingan dari lingkungan pemda maupun nonpemerintah yang telah terlibat
dalam diskusi dan lokakarya sebelumnya. Lokakarya akhir di Kabupaten Bima
dilaksanakan pada 3 Desember 2005, sedangkan di Kabupaten Tapanuli Tengah
dilaksanakan pada 13 Desember, 2005. Lokakarya akhir tersebut di samping
ditujukan untuk menyampaikan hasil-hasil kajian dan mendapatkan masukan
dari para pemangku kepentingan di daerah, juga diharapkan dapat menggalang
dukungan dalam penyebarluasan penggunaan AKP, serta dapat menjadi bagian
dari upaya pengarusutamaan penanggulangan kemiskinan di daerah.
2.3.2. Lokakarya Nasional
Sebagai bagian akhir dari kegiatan komunikasi dan konsultasi dengan pemangku
kepentingan di tingkat pusat, dilaksanakan lokakarya nasional di Jakarta pada tanggal
18 Januari 2006. Lokakarya nasional ini diselenggarakan bersama Bappenas dan
dimaksudkan untuk: (i) melaporkan pelaksanaan kegiatan kajian, (ii) berbagi
pengalaman mengenai pelaksanaan AKP dan penguatan kapasitas daerah dalam
perencanaan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, serta (iii) memaparkan
hasil kajian dan mendiskusikan potensi pengintegrasian AKP dalam proses
perencanaan pembangunan.
Dalam lokakarya tersebut, Bappenas menyampaikan pemaparan tentang pentingnya
proses perencanaan pembangunan secara partisipatoris dan SMERU menyampaikan
laporan pelaksanaan kajian serta analisis mengenai potensi dan tantangan
pemanfaatan AKP dalam perencanaan pembangunan daerah berdasarkan hasil
kajian. Selain itu, Tim AKP dari Kabupaten Bima dan Kabupaten Tapanuli Tengah
juga menyampaikan pengalaman mereka selama terlibat dalam kegiatan kajian dan
gagasan mengenai potensi pemanfaatan dan pengintegrasian AKP dalam proses
Lembaga Penelitian SMERU, 18 Desember 2006
perencanaan pembangunan yang sudah dilaksanakan di kabupaten mereka masingmasing.
Gagasan-gagasan kabupaten studi tersebut dirangkum dan disajikan pada Bab V.
Pemaparan kedua Tim AKP tersebut memperlihatkan besarnya antusiasme daerah
untuk menerima dan mengaplikasikan AKP sesuai dengan kondisi daerah masingmasing.
Selain itu, juga terungkap adanya rencana pemda Kabupaten Bima dan
Kabupaten Tapanuli Tengah untuk mereplikasi kegiatan AKP di beberapa desa
lainnnya.
Selain menanggapi materi yang dipaparkan, lokakarya nasional ini juga menjadi
forum untuk berbagi pengalaman dari beberapa lembaga dan pemda lainnya, di
antaranya URDI, WWF, IPCOS dan Pemerintah Kota Cirebon. Beberapa isu yang
didiskusikan adalah kendala dalam pengadopsian proses partisipatoris dalam
penyusunan rencana pembangunan daerah, pengkaitan rencana pembangunan dan
penyusunan anggaran, serta upaya yang diperlukan untuk menyebarluaskan inisiatifinisiatif
seperti yang dilaksanakan dalam kajian ini. Pada akhir diskusi, Bappenas
menggarisbawahi bahwa masih banyak upaya yang diperlukan untuk meningkatkan
kepekaan dan kapasitas daerah dalam mengarusutamakan kemiskinan dalam
perencanaan daerah. Kajian ini merupakan salah satu model yang dapat
dikembangkan dan dipadukan atau disinkronkan dengan beberapa model lain yang
juga sudah ada
Lembaga Penelitian SMERU, 19 Desember 2006
III. HASIL ANALISIS KEMISKINAN
PARTISIPATORIS (AKP)
Bab ini menyajikan rangkuman analisis kemiskinan hasil AKP yang dilaksanakan
dalam bentuk rangkaian diskusi di tingkat kabupaten dan di tiga desa terpilih di
masing-masing kabupaten, serta dilengkapi beberapa hasil analisis data sekunder yang
tersedia.
3.1. Kabupaten Bima
3.1.1. Kondisi Daerah dan Kecenderungan Kemiskinan
Kabupaten Bima terletak di bagian paling timur Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB). Kabupaten ini dikelilingi laut, kecuali bagian sebelah barat yang berbatasan
dengan Kabupaten Dompu. Bagian utara kabupaten ini berbatasan dengan Laut
Flores, bagian selatan dengan Lautan Hindia, dan bagian timur dengan Selat Sape
yang berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Total luas
Kabupaten Bima sekitar 44.000 km2 dan pada 2003 dihuni oleh sekitar 405.000
penduduk. Secara administratif kabupaten ini terbagi atas 14 kecamatan dan 153
desa/kelurahan. Dua kecamatan di antaranya, yaitu Kecamatan Sanggar dan
Kecamatan Tambora terletak di dalam wilayah Kabupaten Dompu, terpisah dari
kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bima lainnya.
Wilayah Kabupaten Bima terdiri dari dataran tinggi, hamparan, dan pantai, yang
sebagian besar berupa lahan kering. Dari sekitar 409.000 hektar lahan kering, yang
mencakup sekitar 94% dari tanah yang bisa ditanami, 248.000 hektar adalah wilayah
hutan. Lahan basah yang dimanfaatkan sebagai lahan persawahan hanya sekitar
28.000 hektar (6%). Air sangat sulit diperoleh di daerah ini karena musim hujan
biasanya hanya berlangsung sekitar empat bulan dalam setahun.
Meskipun kondisi alam yang kering kurang mendukung usaha pertanian,
perekonomian kabupaten ini didominasi oleh sektor pertanian, dengan kontribusi
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sekitar 48% pada 2002. Pada
tahun yang sama, kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan restoran sekitar 16%,
transportasi 9%, konstruksi 7%, manufaktur 4%, pertambangan dan galian 3%, bank
dan lembaga keuangan 1%, listrik, gas dan air hanya kurang dari 1%, dan jasa-jasa
lain (temasuk pemerintah) sekitar 12%. Mayoritas penduduk kabupaten ini juga
bekerja di sektor pertanian, terutama pertanian lahan kering, dan masih banyak yang
melakukan perladangan berpindah. Penduduk yang tinggal di daerah pantai
kebanyakan bekerja sebagai nelayan tradisional, walaupun sebagian sudah mulai
melakukan budidaya rumput laut, bandeng, dan udang.
Kombinasi antara iklim yang kering, tanah yang tidak subur, dan lokasi yang
terisolasi, membuat kemiskinan menjadi masalah yang mendasar di kabupaten ini.
Walaupun demikian, data BPS menunjukkan bahwa angka kemiskinan cenderung
menurun dalam lima tahun terakhir. Gambar 5 memperlihatkan kecenderungan
Lembaga Penelitian SMERU, 20 Desember 2006
penurunan angka kemiskinan tersebut. Pada 2004, angka kemiskinan mencapai
kurang dari 23%, dengan sekitar 90.600 penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Indeks pembangunan manusia (IPM) kabupaten ini pada 2002 adalah 59,0, sedikit
lebih baik daripada IPM Provinsi NTB (57,8), namun jauh lebih rendah dari ratarata
IPM nasional (65,8). Indikator-indikator pembangunan manusia di Kabupaten
Bima yang lebih tinggi daripada rata-rata NTB adalah dalam bidang pencapaian
pendidikan, yaitu angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Namun angka
harapan hidup dan konsumsi per kapita riil lebih rendah daripada rata-rata provinsi.
Adapun indeks kemiskinan manusia (IKM) pada tahun yang sama (2002)
memperlihatkan bahwa kondisi kemiskinan di kabupaten ini sedikit lebih buruk dari
pada rata-rata provinsi, khususnya dilihat dari beberapa indikator kesehatan, yaitu
peluang untuk tidak mencapai umur 40 tahun dan proporsi penduduk tanpa akses ke
air bersih. Walaupun demikian, pencapaian kabupaten ini lebih baik dari rata-rata
provinsi dalam hal angka buta huruf, akses ke sarana kesehatan dan status gizi balita.
Gambar 5. Perubahan Angka Kemiskinan di Kabupaten Bima dan Provinsi NTB,
1999-2004
Kemiskinan menurut sudut pandang masyarakat berbeda dengan kemiskinan
menurut data BPS tersebut di atas. Masyarakat peserta diskusi kelompok terarah
(FGD) di tiga desa AKP di Kabupaten Bima membedakan tingkat kesejahteraan
masyarakat dalam empat kelompok. Di Desa Nunggi, kelompok paling kaya disebut
Ntau Ra Wara, kelompok menengah disebut Mboha, kelompok miskin disebut Ncoki,
dan kelompok sangat miskin disebut Ncoki Poda. Di Desa Doridungga, kelompok
terkaya disebut Wara, kelompok sedang disebut Mboha, kelompok miskin disebut
Dawara dan kelompok termiskin disebut Dawara Poda. Sementara itu, di Desa
Waworada, kelompok terkaya disebut Ntau Wara, kelompok sedang disebut Mboha,
kelompok miskin disebut Ncoki, dan kelompok paling miskin disebut Darere.
Pengelompokan tingkat kesejahteraan ini dibedakan berdasarkan beberapa indikator
yang mudah diamati, termasuk kondisi rumah, tingkat pendidikan, pemanfaatan
sarana kesehatan, penguasaan aset, frekuensi membeli pakaian, pola konsumsi
172.8
133.7
98.8
90.6
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Ribu Jiwa
1999 2002 2003 2004
Tahun
Gambar 5a. Jumlah Penduduk Miskin di
Kabupaten Bima (BPS), 1999-2004 di bawah Garis Kemiskinan di Kab. Bima
dan Prov. NTB, 1999-2004
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
1999 2002 2003 2004
Tahun
NTB Kab. Bima
Lembaga Penelitian SMERU, 21 Desember 2006
makanan, jenis pekerjaan, dan jumlah anak. Karakteristik kelompok miskin dan
sangat miskin disajikan secara rinci pada Lampiran 5.
Berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan masyarakat tersebut, diperkirakan lebih dari
50% rumah tangga di desa-desa AKP di Kabupaten Bima tergolong miskin dan sangat
miskin (Tabel 3). Di Desa Nunggi dan Desa Waworada, proporsi rumah tangga
miskin lebih besar daripada rumah tangga sangat miskin, sedangkan di Desa
Doridungga proporsi rumah tangga sangat miskinlah yang lebih banyak. Hal ini
menunjukkan parahnya kemiskinan di Desa Doridungga karena mata pencaharian
penduduknya sangat terbatas pada pertanian lahan kering dengan ketersediaan air
yang sangat minim.
Tabel 3. Klasifikasi Kesejahteraan Rumah Tangga di Desa-Desa AKP di
Kabupaten Bima, 2000 dan 2005
Klasifikasi Desa Waworada Desa Nunggi Desa Doridungga
Kesejahteraan 2000 2005 2000 2005 2000 2005
1 Kaya 15% 8% 9% 10% 43% 13%
2 Sedang 48% 28% 14% 25% 25% 20%
3 Miskin dan Sangat
Miskin
37% 64% 77% 65% 32% 67%
Miskin 28% 47% 16% 42% 20% 24%
Sangat Miskin 9% 17% 61% 23% 12% 43%
Ketika masyarakat diminta untuk membandingkan kondisi kesejahteraan penduduk
desa pada saat dilakukan diskusi (2005) dengan kondisi sekitar lima tahun
sebelumnya, peserta FGD di desa Doridungga dan Desa Waworada mengemukakan
bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di desa mereka cenderung menurun. Di
kedua desa ini, proporsi rumah tangga kaya dan sedang menurun, sedangkan proporsi
rumah tangga miskin dan sangat miskin meningkat. Di Desa Waworada peningkatan
terbesar terjadi pada golongan miskin, sedangkan di Desa Doridungga justru proporsi
rumah tangga sangat miskin yang meningkat drastis. Hanya di Desa Nunggi
masyarakat merasa bahwa tingkat kesejahteraannya agak meningkat karena proporsi
rumah tangga miskin dan sangat miskin menurun, sedangkan proporsi rumah tangga
dengan tingkat ekonomi sedang meningkat.
Analisis kecenderungan tingkat kesejahteraan di tiga desa AKP ini berbeda dengan
kecenderungan umum yang ditunjukkan oleh data BPS, karena tiga desa AKP ini
memang belum merupakan representasi dari kondisi kabupaten secara umum.
Walaupun demikian, dari diskusi lebih jauh dengan masyarakat, dapat dikenali
dinamika kemiskinan di desa-desa AKP yang mungkin juga dialami di desa-desa
sejenis lainnya. Berdasarkan analisis kecenderungan yang dikemukakan masyarakat,
terlihat adanya beberapa persamaan dan perbedaan perubahan pola penghidupan
yang memengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat dalam lima tahun terakhir.
Ketiga desa AKP di Kabupaten Bima ini mengalami peningkatan sarana transportasi
dan komunikasi, dan peningkatan ketersediaan sarana dan pelayanan kesehatan. Di
dua desa, yaitu Desa Nunggi dan Doridungga, akses terhadap pendidikan juga
meningkat; namun hal ini tidak terjadi di Desa Waworada karena akses ke sekolah
lanjutan (SMP) tetap sulit sehingga banyak lulusan sekolah dasar yang tidak
melanjutkan sekolah.
Lembaga Penelitian SMERU, 22 Desember 2006
Adapun perbedaan antara Desa Nunggi, yang tingkat kesejahteraannya meningkat,
dengan Desa Waworada dan Desa Doridungga, yang tingkat kesejahteraannya
cenderung menurun, adalah dalam hal perubahan pengelolaan usahatani dan
perubahan mata pencaharian secara umum. Peningkatan kesejahteraan di Desa
Nunggi didukung oleh pengenalan jenis tanaman baru, yaitu bawang merah dan
kacang, yang nilai jualnya lebih tinggi, disertai dengan penerapan tehnik budidaya
yang lebih baik. Di samping itu, pengenalan varitas sapi dan tehnik pemeliharaan
yang lebih baik juga sangat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Peningkatan produksi dan produktivitas usahatani tersebut juga berdampak positif
terhadap pendapatan petani dengan lahan sempit dan buruh tani sehingga cukup
banyak rumah tangga miskin yang kesejahteraannya meningkat ke kategori sedang.
Dengan adanya perubahan ini, penurunan produktivitas pertanian sawah akibat
makin berkurangnya pasokan air irigasi tidak terlalu berdampak negatif terhadap
pendapatan masyarakat.
Desa Doridungga dan Desa Waworada juga mengalami penurunan produktivitas
pertanian, khususnya sawah, karena menurunnya pasokan air irigasi. Kondisi ini
diperparah dengan tidak adanya inovasi atau pengenalan komoditas lain seperti yang
terjadi di Desa Nunggi. Bahkan pendapatan dari mata pencaharian alternatif lainnya
justru menurun. Di Desa Doridungga, usaha ternak sapi tidak mengalami
perkembangan baru. Banyak masyarakat yang sudah menjual ternaknya untuk biaya
sekolah, dan ternyata setelah anaknya lulus sekolah sulit untuk mendapat pekerjaan.
Faktor lain yang berdampak negatif terhadap penghidupan masyarakat Desa
Doridungga adalah sangat berkurangnya pasokan air untuk kebutuhan minum dan
kebutuhan rumah tangga lainnya, yang mengakibatkan masyarakat harus mengantri
air berjam-jam. Adapun di Desa Waworada, turunnya pendapatan juga diakibatkan
karena sebagian besar sawah di salah satu dusun diubah menjadi tambak udang, tetapi
perusahaan swasta yang menangani pengelolaannya ternyata mengalami salah urus
dan bangkrut. kibatnya tambak udang diterlantarkan, dan petani tambak menganggur
atau harus mencari pekerjaan-pekerjaan kasar seadanya. Di samping itu, ikan hasil
tangkapan nelayan juga terus menurun karena nelayan tradisional tidak dapat
bersaing dengan nelayan modern yang datang dari daerah lain.
Meskipun analisis kecenderungan kemiskinan berdasarkan data BPS dan berdasarkan
AKP di tiga desa tersebut tidak dapat diperbandingkan secara langsung, perbedaan
antara keduanya memicu munculnya beberapa pertanyaan mendasar, khususnya
mengenai dinamika kemiskinan di tingkat kabupaten. Berdasarkan hasil AKP yang
hanya dilakukan di lokasi yang sangat terbatas dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan peningkatan kemiskinan terjadi di kalangan petani sawah yang
produktivitasnya menurun karena berkurangnya pasokan air, peternak sapi yang
masih memelihara sapi dengan cara tradisional, nelayan tradisional, dan petani
tambak yang usaha tambaknya tidak berjalan baik. Peningkatan kesejahteraan, yang
berarti juga penurunan kemiskinan, terjadi di kalangan petani-petani dan peternak
yang melakukan diversifikasi dan peningkatan teknologi pengelolaan usahatani atau
pemeliharaan ternak. Jika proporsi rumah tangga yang termasuk dalam golongan
pertama, yaitu yang kesejahteraannya cenderung menurun, lebih sedikit daripada
golongan yang kedua, maka kecenderungan kemiskinan akan sejalan dengan
kecenderungan yang ditunjukkan oleh data BPS. Namun, hal ini masih
dipertanyakan, mengingat bahwa perkembangan seperti yang terjadi di Desa Nunggi
Lembaga Penelitian SMERU, 23 Desember 2006
tampaknya justru terjadi di wilayah yang terbatas. Selain itu, dalam beberapa diskusi
yang dilaksanakan pada akhir kajian, juga muncul isu-isu lain yang belum dicakup
dalam kajian AKP ini, yaitu tentang dinamika kemiskinan di daerah-daerah
semiurban, mengingat bahwa dari ketiga desa AKP belum ada desa yang mewakili
tipologi ini. Terlepas dari masih adanya pertanyaan mengenai kecenderungan
kemiskinan yang sebenarnya terjadi di Kabupaten Bima secara umum, hasil AKP
telah mengarahkan pada identifikasi isu-isu utama dalam penanggulangan
kemiskinan yang akan dibahas dalam subbab berikut ini.
3.1.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan
Berdasarkan analisis berbagai hasil diskusi yang dilakukan di tiga desa AKP dan
masukan-masukan dari rangkaian lokakarya yang dilaksanakan selama kajian ini,
dapat dikenali enam isu utama yang saling berkaitan. Keenam isu ini perlu ditangani
dalam upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan di Kabupaten Bima, khususnya
dalam jangka menengah dan jangka panjang. Keenam isu tersebut adalah: 1)
degradasi lingkungan; 2) produksi dan kerentanan usaha pertanian dalam arti luas,
termasuk peternakan dan perikanan; 3) keterbatasan lapangan kerja; 4) rendahnya
pendidikan dan keterampilan; 5) keluarga berencana; dan 6) kelembagaan. Uraian di
bawah ini akan membahas isu-isu tersebut, serta rekomendasi alternatif kebijakan
daerah yang ditawarkan.
(1) Degradasi Lingkungan, Khususnya Hutan
Dalam diskusi-diskusi dengan masyarakat terungkap adanya berbagai permasalahan
kemiskinan yang berakar pada masalah degradasi lingkungan, khususnya berkaitan
dengan penggundulan atau pengalihfungsian hutan. Terjadinya penggundulan hutan
akibat penebangan liar dan perubahan fungsi hutan menjadi tegalan telah
mengakibatkan merosotnya ketersediaan air untuk keperluan minum dan kebutuhan
domestik lainnya di Desa Doridungga. Dengan merosotnya ketersediaan air ini,
proyek pipanisasi air yang telah dibuat oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat
menjadi tidak efektif karena masyarakat tetap harus mengantri lama untuk
memperoleh air. Di Desa Nunggi, kerusakan hutan telah menyebabkan kerusakan
sistem pasokan air untuk pertanian karena dam-dam yang sudah dibangun untuk
menampung air irigasi tidak berfungsi akibat terjadinya sedimentasi. Di samping itu,
penggundulan hutan juga menyebabkan makin seringnya terjadi banjir yang merusak
sawah. Fenomena berkurangnya jumlah mata air secara signifikan juga dikonfirmasikan
oleh para pemangku kepentingan dalam lokakarya, sebagai persoalan yang terjadi
secara luas di Kabupaten Bima.
Dalam jangka panjang, persoalan kerusakan lingkungan hutan ini berpotensi
menyebabkan proses pemiskinan. Oleh karena itu, penanganan kerusakan hutan
perlu menjadi prioritas. Dalam penanganan masalah kerusakan hutan perlu
diperhatikan bahwa pemanfaatan hutan sangatlah penting bagi kehidupan
masyarakat miskin. Hasil diskusi AKP menunjukkan bahwa karena terbatasnya
lapangan kerja di desa maka masyarakat memanfaatkan sebagian lahan hutan sebagai
tegalan dengan sistem perladangan berpindah. Kegiatan yang dilakukan termasuk
menanami lereng-lereng yang terjal yang seharusnya tidak layak untuk dijadikan
tegalan. Selain itu, masyarakat sekitar hutan juga banyak memanfaatkan kayu dan
Lembaga Penelitian SMERU, 24 Desember 2006
hasil hutan lainnya sebagai strategi untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, dalam
rangka mengembalikan dan memperbaiki kondisi hutan, perlu dilakukan pendekatan
lintas sektoral. Upaya pelestarian hutan perlu dipadukan dengan penciptaan
alternatif lapangan kerja lain dan sistem pengembangan pola pemanfaatan lahan
hutan yang ramah lingkungan dan lestari.
(2) Produksi dan Kerentanan Usahatani
Kasus Desa Nunggi memberikan pelajaran tentang peluang untuk meningkatkan
pendapatan di sektor pertanian dan peternakan melalui introduksi komoditas yang
cocok untuk dikembangkan di daerah-daerah khusus. Oleh karena itu, perlu terus
dilakukan upaya untuk mencari dan mengembangkan komoditas yang cocok untuk
dikembangkan di daerah-daerah kering yang produktivitas pertaniannya rendah.
Kasus degradasi lingkungan yang dikemukakan pada butir 1 di atas juga
memperlihatkan perlunya pengembangan sistem budidaya yang tepat untuk lahan
miring dan yang tepat untuk menjaga kelestraian lingkungan. Upaya peningkatan
usaha pertanian (termasuk perkebunan, peternakan, dan perikanan) sangat strategis
dalam menciptakan daya dorong dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dalam jangka panjang.
Walaupun demikian, pengembangan komoditas dan sistem budidaya pertanian
(dalam artian luas, termasuk peternakan dan perikanan) belum tentu akan mengatasi
masalah kemiskinan bila aspek kerentanan yang ada tidak diantisipasi dan ditangani
secara baik. Hasil diskusi dengan masyarakat mengungkapkan beberapa bentuk
kerentanan usahatani di desa-desa AKP, di antaranya:
1. Kecenderungan penurunan produksi bawang merah akibat penyakit hama yang
belum mampu diatasi petani (Desa Nunggi).
2. Kesulitan pasokan pakan ternak sapi (Desa Nunggi).
3. Kesalahan pengelolaan tambak oleh perusahaan swasta yang difasilitasi
pemerintah, sehingga perubahan sawah menjadi tambak justru memiskinkan
masyarakat (Desa Waworada).
4. Rusaknya sistem irigasi dan banjir yang menyebabkan penurunan produksi padi
(Desa Nunggi).
5. Rendahnya harga hasil perkebunan (Desa Doridungga), harga bawang (Desa
Nunggi), dan harga ikan (Desa Waworada).
Masyarakat masih kurang mendapat perlindungan dari kerentanan tersebut karena
sistem pendukung yang saat ini disediakan pemda, di antaranya PPL, dirasa sangat
jauh oleh masyarakat meskipun masyarakat menganggap bahwa keberadaannya
sangat penting. Oleh karena itu, pemda perlu membantu masyarakat mengurangi
kerentanan tersebut dengan menciptakan atau memperbaiki sistem penyuluhan dan
mekanisme pendampingan secara berkelanjutan. Di samping itu, pemda juga perlu
membantu membuka pasar serta memperlancar/menyediakan informasi harga.
Pengenalan suatu komoditas atau sistem budidaya baru perlu terus didampingi agar
persoalan yang dihadapi masyarakat dapat segera ditangani. Masyarakat juga perlu
mendapatkan perlindungan dalam penanganan persoalan status lahan bermasalah
dan bentuk-bentuk kerja sama dengan pihak lain yang berpotensi merugikan
masyarakat seperti yang terjadi di Desa Waworada.
Lembaga Penelitian SMERU, 25 Desember 2006
(3) Keterbatasan Lapangan Kerja
Tidak adanya atau kurangnya lapangan kerja merupakan salah satu faktor penyebab
kemiskinan yang paling banyak dikemukakan masyarakat dalam berbagai diskusi.
Lapangan kerja di perdesaan semakin sempit karena terbatasnya lahan dan adanya
kecenderungan penurunan produktivitas lahan, tingginya pertumbuhan penduduk,
kurangnya investasi industri nonpertanian di perdesaan yang dapat menyediakan
lapangan kerja baru, dan kurangnya akses kepada modal. Tidak tersedianya lapangan
kerja ini telah mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan-lahan, termasuk
lahan hutan, untuk bertani sehingga berakibat pada degradasi lingkungan
sebagaimana dibahas di butir 1 di atas. Alternatif untuk mendapatkan pekerjaan di
luar daerah atau untuk mengembangkan usaha berhadapan pada masalah rendahnya
pendidikan formal, khususnya di kalangan masyarakat miskin, dan kurangnya
keterampilan kerja pada umumnya (berkaitan dengan butir 4). Meskipun demikian,
banyak keluarga yang telah berusaha menyekolahkan anak mereka, termasuk dengan
menjual aset produksi mereka untuk menutupi biaya pendidikan yang mahal, dengan
harapan anaknya akan mendapat pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik. Oleh
karena itu, masalah pengangguran menjadi masalah utama yang sangat berpotensi
menambah kemiskinan di masa yang akan datang.
Dalam konteks kondisi di Kabupaten Bima ini, upaya untuk mengatasi masalah
terbatasnya lapangan kerja perlu dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif,
antara lain melalui:
1. Peningkatan produksi pertanian dan dengan mengatasi kerentanan sebagaimana
dikemukakan pada butir 2 di atas.
2. Penyediaan modal yang dapat diakses masyarakat dengan mudah. Masyarakat
masih sangat tergantung pada rentenir. KUD hampir tidak dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat miskin. UPKD yang ada di Desa Waworada, misalnya, bisa
menjadi salah satu sumber bantuan modal, walaupun penerima manfaat sangat
terbatas pada kelompok sedang. Oleh karena itu, masih harus dicari sistem
lembaga keuangan yang baik dan berkesinambungan.
3. Pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan yang menunjang keterampilan kerja, baik
di bidang pertanian maupun nonpertanian.
4. Fasilitasi penyaluran dan penempatan tenaga kerja di industri ataupun di luar
daerah melalui penyediaan informasi dan perlindungan pekerja.
5. Pengendalian pertumbuhan penduduk dengan meningkatkan keikutsertaan
masyarakat dalam keluarga berencana (lihat butir 5 di bawah).
(4) Rendahnya Pendidikan dan Keterampilan
Dalam berbagai diskusi, masyarakat mengemukakan bahwa rendahnya pendidikan
dan keterampilan merupakan penyebab kemiskinan karena hal ini menghambat akses
untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Kurangnya keterampilan juga dianggap
sebagai penyebab rendahnya pengetahuan dan kemampuan untuk mengembangkan
usaha pertanian. Kebanyakan masyarakat miskin hanya berpendidikan SD.
Permasalahan yang mengemuka dalam AKP beragam, di antaranya yang utama
adalah kurangnya insentif karena sulitnya lapangan kerja. Masyarakat miskin
khususnya, merasa bahwa sekolah tidak akan membuat mereka mendapat pekerjaan
yang lebih baik. Hal ini menyebabkan orangtua keluarga miskin tidak mendorong
Lembaga Penelitian SMERU, 26 Desember 2006
anaknya untuk sekolah. Di samping itu, di beberapa daerah, seperti di Desa
Waworada, jarak ke sekolah SMP terlalu jauh.
Untuk mengatasi masalah ini, di antaranya dibutuhkan bantuan beasiswa bagi
masyarakat miskin dan penyediaan sarana pendidikan yang lebih merata dan mudah
diakses masyarakat di semua daerah. Peningkatan pendidikan formal perlu didekati
dari sisi sosiologis melalui peningkatan motivasi untuk menyekolahkan anak mereka,
dan juga memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan spesifik suatu daerah. Upaya
peningkatan pendidikan dan keterampilan juga dilakukan dalam satu paket yang
terpadu dengan upaya yang disarankan pada butir 1, 2, dan 3 di atas, khususnya
melalui program pendampingan masyarakat secara berkelanjutan.
(5) Keluarga Berencana
Salah satu faktor penyebab kemiskinan lainnya yang muncul dari AKP adalah banyak
anak, dan pada umumnya keluarga miskin mempunyai lebih banyak anak. Hasil AKP
mengungkapkan bahwa masyarakat cukup banyak mendapat informasi mengenai KB.
Bidan Desa dan Puskesmas Pembantu (Pustu) merupakan sumber informasi utama
dan cukup dekat dengan masyarakat. Namun, dalam diskusi dengan keluarga miskin
terungkap bahwa kebanyakan dari mereka tidak mampu menjangkau biaya KB.
Dalam diskusi dengan Dinas Keluarga Berencana terungkap bahwa subsidi alat
kontrasepsi yang tersedia hanya mencukupi untuk 60% jumlah penduduk miskin usia
subur, dan akses masyarakat miskin mungkin bisa lebih kecil lagi karena sebagian dari
jumlah yang tersedia tersebut dapat saja digunakan untuk keluarga yang tidak terlalu
miskin. Selain itu, secara total di tingkat kabupaten, jumlah tenaga PLKB dan Bidan
Desa yang tersedia hanya 1/3 dari jumlah yang dibutuhkan. Dengan kondisi seperti
ini, meskipun secara umum terjadi peningkatan cakupan KB, namun peningkatan
hanya terjadi di kalangan golongan ekonomi menengah ke atas, sedangkan
masyarakat miskin banyak yang tidak terjangkau program KB. Oleh karena itu,
diperlukan strategi dan upaya khusus untuk meningkatkan cakupan program KB di
kalangan masyarakat miskin melalui peningkatan pelayanan, komunikasi, dan
informasi, serta pendidikan mengenai program KB.
(6) Kelembagaan
Secara tidak langsung, berbagai diskusi dengan masyarakat mengungkapkan bahwa
pada umumnya masyarakat cukup dekat dengan institusi-institusi pemerintahan desa,
keagamaan, pendidikan, dan kesehatan di tingkat lokal. Namun, akses masyarakat
miskin terhadap institusi pendukung kegiatan ekonomi, seperti lembaga penyedia
modal, lembaga pemasaran dan koperasi, sangat rendah. Selain itu, akses mereka
terhadap informasi bantuan dan program-program pembangunan juga relatif kurang.
Keputusan-keputusan mengenai pelaksanaan maupun pengawasan proyek maupun
program masih didominasi oleh elit desa. Pengetahuan kaum perempuan, khususnya,
lebih terbatas lagi, karena kaum perempuan cenderung hanya mengetahui program
yang secara khusus ditujukan untuk perempuan, seperti program KB atau pelatihan
keterampilan yang cakupannya juga sangat terbatas. Kondisi kelembagaan seperti ini
menghambat efektivitas program dan cenderung kurang mampu mendukung
kebutuhan riil masyarakat miskin. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan kebijakan
dan perilaku pengelola proyek dan program agar penyebaran informasi lebih merata,
Lembaga Penelitian SMERU, 27 Desember 2006
baik bagi laki-laki maupun perempuan, dan ketepatan sasaran bagi masyarakat miskin
akan lebih baik. Di samping itu, juga perlu penyediaan institusi keuangan yang dapat
diakses masyarakat miskin dan institusi yang dapat membuka dan meningkatkan
akses pasar.
3.2. Kabupaten Tapanuli Tengah
3.2.1. Kondisi Daerah dan Kecenderungan Kemiskinan
Kabupaten Tapanuli Tengah terletak di pantai barat Provinsi Sumatera Utara.
Bagian barat kabupaten ini berbatasan dengan Lautan Hindia, bagian utara
berbatasan dengan Kabupaten Singkil (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), bagian
timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, dan bagian selatan berbatasan
dengan Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada 2003, kabupaten yang luas daerahnya
mencakup sekitar 2.194,98 km2 ini berpenduduk sekitar 275.800 jiwa, dengan
kepadatan penduduk sekitar 126 jiwa per km2. Secara administratif kabupaten ini
terdiri dari 15 kecamatan dan 160 desa, dengan kepadatan penduduk bervariasi
antarkecamatan. Kecamatan Pandan, yang menjadi ibukota kabupaten, adalah
kecamatan yang penduduknya paling padat (871 orang per km2). Sementara itu,
kecamatan yang penduduknya paling jarang adalah Kecamatan Kolang dengan
kepadatan penduduk sekitar 40 orang per km2.
Hampir semua kecamatan terletak di pinggir pantai yang membentang sepanjang 200
km. Hanya dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sibabangun dan Kecamatan Sitahuis,
yang terletak di daerah perbukitan dan tidak mempunyai daerah pantai. Karena
kabupaten ini terletak di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, topografi daerah ini
bervariasi antara dataran rendah sepanjang pantai dan pegunungan yang berbukitbukit,
dengan ketinggian antara 0 sampai 1.266 meter di atas permukaan laut. Iklim
di daerah ini termasuk Tipe A dalam klasifikasi Oldeman, dengan curah hujan yang
tinggi, yaitu sekitar 4.842 mm/tahun dan 10-11 bulan basah per tahun.
Kombinasi antara tingginya curah hujan dan lahan pegunungan yang subur membuat
daerah ini memiliki sumber daya alam yang melimpah dengan hutan tropis, tanaman
perkebunan, tanaman pangan, dan perikanan laut. Luas hutan di kabupaten ini
sekitar 132.974 hektar, terdiri dari 74.504 hektar hutan lindung, 51.273 hektar hutan
produksi, dan 7.197 hektar hutan konversi. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan
sekitar 40.000 hektar dan ditanami berbagai tanaman perkebunan, terutama karet,
kelapa sawit, dan coklat. Luas lahan persawahan sekitar 17.808 hektar, dan
setengahnya mendapat pengairan dari irigasi semiteknis dan irigasi tradisional.
Sisanya adalah sawah tadah hujan dan rawa-rawa yang ditanami padi hanya pada
musim-musim tertentu.
Perekonomian Kabupaten Tapanuli Tengah didominasi oleh sektor pertanian. Pada
tahun 2003, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sekitar 54%. Sektor lain
yang kontribusinya cukup besar adalah perdagangan, hotel, dan restoran (16%),
industri manufaktur (11%), dan jasa-jasa lainnya (10%). Sektor tranportasi dan
komunikasi, bank dan lembaga keuangan, dan sektor konstruksi masing-masing
hanya menyumbang sekitar 3%. Sementara itu, kontribusi sektor listrik, gas, dan air,
Lembaga Penelitian SMERU, 28 Desember 2006
dan sektor pertambangan dan galian, masing-masing hanya kurang dari 1%. Lebih
dari 70% rumah tangga di kabupaten ini juga bekerja di sektor pertanian, yaitu
sebagai petani padi dan tanaman pangan lainnya, petani perkebunan, dan nelayan.
Penduduk yang tinggal di sepanjang pantai umumnya bekerja sebagai nelayan dan
sekaligus petani tanaman pangan, sedangkan penduduk yang tinggal di dataran tinggi
hidup dari pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Kebanyakan nelayan masih
menggunakan teknologi tradisional yang menggunakan perahu kecil. Sebagian
bekerja sebagai buruh nelayan di kapal orang lain. Di beberapa tempat, penghidupan
masyarakat pantai juga ditunjang oleh industri pengolahan ikan sederhana, seperti
pengolahan ikan pindang dan ikan asin.
Beberapa dekade yang lalu, Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan daerah yang
relatif makmur. Pelabuhan Barus dan Sibolga ramai dengan kapal-kapal dagang yang
mengangkut produk-produk perikanan dan perkebunan. Ruas jalan sepanjang pantai
barat yang melalui Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan jalur perdagangan utama
yang menghubungkan Aceh (Kabupaten Singkil) dan Provinsi Sumatera Barat.
Kemakmuran ini memudar sejak dikembangkannya pelabuhan dan jalan utama di
pantai timur Sumatera. Pengembangan kawasan pantai timur ini mengambil alih
sentra perdagangan di pantai barat sehingga perekonomian Kabupaten Tapanuli
Tengah menjadi sepi. Aktivitas di pelabuhan pun menurun, sementara akses jalan
dari pantai barat ke pantai timur yang sulit karena harus melalui daerah perbukitan
Pegunungan Bukit Barisan menghambat akses ke pusat perekonomian baru di pantai
timur. Oleh karena itu, Kabupaten Tapanuli Tengah menjadi makin tertinggal dari
kabupaten-kabupaten lainnya, meskipun kekayaan alamnya melimpah. Lambatnya
pertumbuhan ekonomi kabupaten ini dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi
provinsi pada periode 2000-2003 diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita
Kab. Tapanuli Tengah dan Prov. Sumatera Utara, 1996-2003
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
1996 1998 2000** 2002#
Tahun
Juta Rupiah
Prov.
Sumatera
Utara
Kab. Tapanuli
Tengah
Lembaga Penelitian SMERU, 29 Desember 2006
Gambar 7. Perubahan Angka Kemiskinan di Kabupaten Tapanuli Tengah dan
Provinsi Sumatera Utara, 1999-2004
Data kemiskinan yang dipublikasikan BPS memperlihatkan kondisi kemiskinan di
Kabupaten Tapanuli Tengah yang makin memprihatinkan (Gambar 7). Jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan terus meningkat dari 54.500 orang
pada tahun 1999, menjadi 55.500 pada 2002, 56.500 pada 2003 dan melonjak
menjadi 87.070 pada 2004. Dibandingkan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi
Sumatera Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan kabupaten dengan proporsi
penduduk miskin terbesar kedua setelah Kabupaten Nias. Meskipun kemiskinan di
Provinsi Sumatera Utara cenderung menurun, kemiskinan di Kabupaten Tapanuli
Tengah terus meningkat. Baik indeks pembangunan manusia (IPM) maupun indeks
kemiskinan manusia (IKM) juga menunjukkan ketertinggalan kabupaten ini
dibandingkan rata-rata provinsi. Pada 2002, IPM Kabupaten Tapanuli Tengah 65,8,
sedikit lebih rendah daripada rata-rata provinsi (68,8), sedangkan IKM kabupaten ini
adalah 30,2, sedikit lebih tinggi dari rata-rata provinsi (27,8). Semua indikator
pembangunan manusia memperlihatkan bahwa Kabupaten Tapanuli Tengah
tertinggal di hampir semua aspek yang meliputi angka harapan hidup, pendidikan,
daya beli, dan akses ke air bersih, serta status gizi balita. Pencapaian yang menyamai
rata-rata provinsi hanya dalam aspek akses ke sarana kesehatan.
Dilihat dari sudut pandang masyarakat, kecenderungan perubahan tingkat
kesejahteraan masyarakat di tiga desa AKP di Kabupaten Tapanuli Tengah berbedabeda.
Secara umum, peserta FGD di dua desa, Desa Sipange dan Desa Mombang
Boru, membedakan masyarakat ke dalam tiga kelompok kesejahteraan, yaitu rumah
tangga yang kaya atau disebut “mampu”, rumah tangga yang “sedang”, dan rumah
tangga yang miskin atau disebut “kurang mampu”. Ciri-ciri dari keluarga yang
dianggap miskin disajikan di Lampiran 6. Berdasarkan kategorisasi tersebut, sangat
sedikit (5%) rumah tangga yang dikategorikan kaya di kedua desa tersebut. Untuk
Desa Sipange, sekitar 40% rumah tangga dikategorikan miskin, sedangkan di Desa
Mombang Boru rumah tangga yang dikategorikan miskin mencapai sekitar 72%.
Dibandingkan dengan kondisi kesejahteraan lima tahun sebelumnya, peserta FGD di
Gambar 7a. Jumlah Penduduk Miskin di
Kabupaten Tapanuli Tengah, 1999 - 2004
55.5 56.5
87.07
54.5
0
20
40
60
80
100
1999 2002 2003 2004
Tahun
Ribu Orang
Gambar 7b. Persentase Penduduk Miskin di
Kab. Tapanul i Tengah dan di Prov. Sumatera
Utara, 1999 - 2004
0
5
10
15
20
25
30
35
1999 2002 2003 2004
Tahun
Penduduk Miskin (%)
Prov. Sumatera Utara Kab. Tapanuli Tengah
Lembaga Penelitian SMERU, 30 Desember 2006
kedua desa tersebut berpendapat bahwa tingkat kesejahteraan mereka cenderung
meningkat (Tabel 4).
Tabel 4. Klasifikasi Kesejahteraan Rumah Tangga di Desa-Desa AKP di
Kabupaten Tapanuli Tengah, 2000 dan 2005
Desa Tahun Klasifikasi Kesejahteraan
Kaya Sedang Miskin
Desa Sipange 2005 5% 55% 40%
2000 5% 41% 54%
Desa Mombang 2005 5% 23% 72%
Baru
2000 - 5% 95%
Desa Kinali 2005 - 73% 27%
2000 - 90% 12%
Peningkatan kesejahteraan masyarakat di kedua desa tersebut didukung oleh
peningkatan produksi beberapa jenis tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit
dan coklat. Selain itu, tanaman lain yang juga meningkatkan pendapatan penduduk
di Desa Sipange adalah durian dan di Desa Mombang Boru adalah jeruk. Di samping
itu, masyarakat di kedua desa juga menikmati peningkatan dalam hal ketersediaan
sarana transportasi, sarana komunikasi, termasuk ketersediaan sambungan ke telepon
genggam, dan akses ke sarana kesehatan. Oleh karena itu, terjadinya penurunan
produksi padi yang disebabkan oleh rusaknya jaringan irigasi, banjir, dan tidak
berfungsinya lembaga pengelola pemanfaatan air, tidak terlalu memengaruhi
kesejahteraan masyarakat secara umum.
Kondisi kesejahteraan masyarakat di Desa Kinali berbeda dengan di dua desa AKP
lainnya. Pada saat diskusi, peserta FGD menekankan bahwa tidak ada penduduk desa
tersebut yang bisa dikategorikan kaya. Oleh karena itu, hanya ada dua golongan
tingkat kesejahteraan di desa tersebut, yaitu golongan sedang yang disebut ”kurang
mampu” dan golongan miskin yang disebut ”tidak mampu”. Sebagian besar (73%)
rumah tangga dikategorikan dalam kelompok sedang. Kondisi ini agak berbeda
dengan hasil pemetaan, pengamatan langsung, dan informasi tambahan dari
masyarakat desa lainnya. Dari berbagai informasi tersebut, diperkirakan sekitar 6%
rumah tangga dapat dikategorikan kaya, 40% sedang, dan sisanya (44%) tergolong
miskin, yang di antaranya sekitar 9% bisa dianggap sangat miskin. Perbedaan ini
dapat terjadi karena pada saat FGD pesertanya lebih banyak menggunakan kondisi
rumah sebagai acuan, padahal kondisi rumah, yang kebanyakan merupakan warisan,
tidak selalu dapat mencerminkan kondisi penghidupan penghuninya. Hal yang bisa
menjadi penyebab bias lainnya adalah adanya proyek Coremap yang mungkin akan
memberikan bantuan modal. Ada kekhawatiran pada pihak peserta diskusi bahwa
yang digolongkan kaya tidak akan mendapat bantuan tersebut.
Lembaga Penelitian SMERU, 31 Desember 2006
Berbeda dengan kedua desa AKP lainnya, peserta FGD di Desa Kinali
mengemukakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di desa mereka cenderung
menurun. Sekitar lima tahun sebelumnya, Desa Kinali masih agak ramai dan masih
lebih banyak penduduk yang tingkat kesejahteraannya tergolong sedang tinggal di
desa tersebut. Sebagian besar dari mereka kemudian pindah ke desa-desa lain,
khususnya ke Desa Pasar Tarandam, karena kegiatan ekonomi di desa tetangga
tersebut lebih ramai dan terdapat lebih banyak kesempatan kerja dan usaha.
Penurunan kesejahteraan di desa ini terjadi setidaknya sejak lebih dari satu dekade
terakhir karena kapal-kapal nelayan tidak lagi dapat merapat di Desa Kinali, akibat
terjadinya pendangkalan muara sungai. Dengan berpindahnya tempat merapat kapal
ikan, maka kegiatan bongkar, perdagangan, dan warung-warung (lapo) juga ikut
pindah. Sementara itu, hasil tangkapan ikan nelayan terus menurun karena
kerusakan terumbu karang akibat pengeboman dan beroperasinya kapal pukat
Thailand. Hal ini diperparah dengan penurunan produksi padi akibat serangan hama
dan banjir yang makin sering terjadi. Banjir bahkan makin tinggi dan sering
menggenangi perumahan penduduk serta merusak jembatan-jembatan sehingga
tranportasi ke luar desa dan di dalam desa memburuk. Oleh karena itu, meskipun
telah ada peningkatan akses ke sarana pendidikan dan sarana komunikasi, khususnya
telepon, kesejahteraan masyarakat cenderung menurun.
Meskipun hasil analisis kecenderungan kemiskinan dari AKP tidak persis sama
dengan hasil analisis kecenderungan kemiskinan dari data BPS, beberapa hal penting
dapat ditarik dari analisis terhadap kedua data tersebut. Secara umum, hasil AKP
menjelaskan dinamika kemiskinan di masyarakat dengan berbagai tipologi
penghidupan. Masyarakat yang kemakmurannya cenderung meningkat adalah petani
tanaman perkebunan yang mulai mengusahakan komoditas baru, khususnya kelapa
sawit, coklat, dan tanaman buah-buahan. Selain itu, masyarakat di sekitar daerah
semiurban yang pendidikannya relatif tinggi juga cenderung meningkat
kesejahteraannya. Adapun petani sawah dan nelayan, yang proporsinya cukup besar
di Kabupaten Tapanuli Tengah ini, justru cenderung menurun tingkat
kesejahteraannya. Hal inilah yang mungkin dapat menjelaskan kecenderungan
peningkatan kemiskinan di kabupaten ini. Selain itu, dalam diskusi dengan berbagai
pemangku kepentingan di tingkat kabupaten juga muncul isu tentang migrasi dari
daerah-daerah sekitar, khususnya dari Nias, yang mungkin juga menambah penduduk
miskin.
AKP hanya dilaksanakan di tiga desa. Daerah sentra produksi padi dan sentra
nelayan yang dianggap tidak terlalu miskin, serta daerah di mana banyak migran dari
daerah lain, belum dicakup dalam kajian ini. Pelaksanaan AKP di daerah-daerah
tersebut masih diperlukan untuk memperdalam pemahaman mengenai dinamika
kemiskinan di Kabupaten Tapanuli Tengah ini.
3.2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan
Dengan kondisi sumber daya alam yang melimpah dan iklim yang sangat menunjang
usaha pertanian, persoalan kemiskinan di Kabupaten Tapanuli Tengah tidaklah
sejelas kondisi dan permasalahan kemiskinan di Kabupaten Bima. Oleh karena itu,
pada lokakarya dan konsultasi awal dengan para pemangku kepentingan di tingkat
kabupaten, banyak pendapat yang menyoroti faktor sumber daya manusia dan
Lembaga Penelitian SMERU, 32 Desember 2006
perilaku masyarakat sebagai penyebab kemiskinan di kabupaten ini. Sementara itu,
hasil diskusi dengan masyarakat yang dilaksanakan selama kegiatan AKP di tiga desa
terpilih, berhasil mengungkap lima isu utama yang memengaruhi kemiskinan di
kabupaten ini, yaitu isu-isu yang berkaitan dengan mata pencaharian, pendidikan,
infrastruktur, lingkungan, dan keluarga berencana.
(1) Mata Pencaharian
Sebagaimana dikemukakan pada subbab sebelumnya, dinamika kemiskinan sangat
dipengaruhi oleh perubahan pengelolaan usahatani atau mata pencaharian pada
umumnya. Diskusi dengan masyarakat di Desa Sipange dan Desa Mombang Boru
mengungkapkan bahwa pendapatan dari perkebunan kelapa sawit, coklat, dan
beberapa jenis buah-buahan, cenderung meningkat. Walaupun demikian, pengembangan
komoditas ini banyak dilakukan oleh masyarakat sendiri karena bimbingan dan
penyuluhan dari pemerintah dirasa sangat kurang. Upaya ini juga menghadapi
permasalahan pemasaran dan kurang tersedianya modal. Masyarakat miskin masih
sangat tergantung pada pinjaman informal dari pedagang pengumpul, toke, lapo atau
kredit berbunga tinggi yang disediakan beberapa lembaga informal di daerah-daerah
semiurban. Oleh karena itu, alokasi pengeluaran keluarga untuk membayar utang
masih cukup tinggi.
Produksi pertanian tanaman pangan, khususnya padi, yang banyak menjadi andalan
masyarakat, justru cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya luas
lahan dan menurunnya produktivitas. Berkurangnya luas lahan sawah terjadi akibat
menurunnya pasokan air irigasi karena rusaknya saluran atau dam, banjir, dan tidak
berjalannya pengaturan irigasi karena petugas P3A tidak berfungsi. Selain karena
permasalahan irigasi dan banjir, menurut masyarakat, penurunan produktivitas padi
juga disebabkan karena meningkatnya serangan hama. Menurunnya produksi padi ini
sangat memengaruhi pendapatan masyarakat miskin yang kebanyakan bekerja sebagai
buruh tani atau penggarap dengan sistem bagi hasil. Di beberapa tempat, seperti di
Desa Kinali, sistem bagi hasil sangat memberatkan penggarap.
Penurunan pendapatan juga terjadi di kalangan nelayan karena hasil tangkapan ikan
yang terus menurun. Menurut masyarakat, hal ini terjadi karena kerusakan terumbu
karang akibat penggunaan bom ikan dan karena beroperasinya Pukat Thailand dari
luar daerah. Kebanyakan masyarakat miskin bekerja sebagai buruh nelayan di perahu
yang dimiliki oleh toke dan kehidupannya sangat tergantung pada pemilik perahu
tersebut. Jeratan utang dan hubungan buruh nelayan dan majikannya yang cenderung
merugikan nelayan, melestarikan kemiskinan di kalangan buruh nelayan ini.
Sedangkan alternatif mata pencaharian lain, baik dalam bentuk budidaya perikanan
atau yang lainnya, belum ada.
Sumber pendapatan lain yang banyak menopang kehidupan masyarakat miskin dan
berperan sebagai strategi bertahan hidup mereka adalah mengambil hasil hutan,
seperti madu, rotan, kelelawar, atau buah-buahan, dan memelihara ternak kecil,
seperti babi, ayam, itik, dan kambing. Pemanfaatan hutan tersebut agak terancam
oleh penggundulan hutan secara liar oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung
jawab. Sementara itu, perlindungan dalam pemeliharaan ternak kecil masih kurang
dalam hal pencegahan dan pengendalian penyakit.
Lembaga Penelitian SMERU, 33 Desember 2006
Lapangan kerja di luar sektor pertanian masih sangat terbatas sehingga banyak
masyarakat, khususnya di daerah dekat perkotaan, yang bermigrasi ke daerah lain.
Menurunnya pendapatan di sektor pertanian dan keberhasilan beberapa pekerja
migran yang telah bekerja di daerah lain mendorong peningkatan minat masyarakat
untuk bekerja ke luar daerah.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, dibutuhkan perubahan-perubahan
kebijakan dan fokus program-program di sektor pertanian, peternakan, perkebunan
dan kehutanan. Mengaktifkan dan reorientasi kegiatan penyuluhan perlu dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan petani akan penguasaan atas teknik berusaha tani,
pengendalian hama dan penyakit (termasuk untuk ternak kecil), dan pemasaran yang
lebih baik. Dalam kaitan dengan kegiatan penyuluhan ini, peranan perempuan yang
ternyata sangat dominan dalam usahatani tanaman pangan perlu diperhatikan, agar
mereka juga mendapat akses terhadap penyuluhan. Khusus untuk mengatasi masalah
irigasi di persawahan, perlu dilakukan perbaikan infrastruktur irigasi (lihat butir 3 di
bawah), penanggulangan masalah penggundulan hutan (butir 4) dan revitalisasi
lembaga pengaturan irigasi. Perlindungan terhadap sumber daya perairan juga sangat
diperlukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan. Upaya ini perlu juga
dipadukan dengan introduksi mata pencaharian alternatif lain. Meningkatkan akses
permodalan juga diperlukan untuk menunjang usahatani, dan juga meningkatkan
akses tabungan masyarakat sampai ke pelosok desa atau ke kawasan nelayan, misalnya
melalui bank keliling (mobile banking). Selain semua upaya itu, kebutuhan untuk
mendapatkan pekerjaan di sektor nonpertanian perlu didukung melalui penyediaan
pendidikan nonformal, peningkatan investasi di industri berbasis pertanian yang
banyak menyerap tenaga kerja dan produk pertanian lokal, dan program
perlindungan bagi tenaga kerja migran.
(2) Pendidikan
Meskipun di beberapa daerah, khususnya di daerah semiurban, rata-rata tingkat
pendidikan sudah cukup tinggi, kebanyakan keluarga miskin hanya mampu
menyekolahkan anak mereka sampai tingkat SD atau maksimal SMP. Di daerah
nelayan, khususnya, banyak anak laki-laki yang putus sekolah pada tingkat sekolah
dasar dan bekerja sebagai buruh nelayan atau ikut membantu orang tuanya
menangkap ikan dengan perahu tradisional milik keluarga. Berbagai faktor
menyebabkan terjadinya putus sekolah pada tingkat SD atau SMP, yakni: rendahnya
kesadaran untuk melanjutkan sekolah, ketertarikan untuk bekerja sebagai nelayan,
dan banyaknya keluarga miskin yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke
sekolah lanjutan karena lokasinya jauh dan membutuhkan biaya transportasi yang
besar. Hanya sekolah SD yang sudah ada di hampir semua desa, sedangkan sekolah
SMP dan SMA terletak di ibukota kecamatan, yang jaraknya cukup jauh dari desadesa
terpencil yang akses transportasinya sulit. Rendahnya motivasi untuk
melanjutkan sekolah juga disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak lulusan SMP
dan SMA yang tidak terserap oleh pasar kerja lokal dan menjadi pengangguran.
Meskipun masyarakat menyadari bahwa rendahnya pendidikan dan keterampilan
merupakan penyebab kemiskinan, hanya di beberapa daerah perkotaan dan pinggiran
kota yang memiliki motivasi sekolah cukup tinggi. Motivasi ini pun muncul karena
melihat keberhasilan pekerja migran, yang umumnya mempunyai latar belakang
pendidikan yang cukup tinggi.
Lembaga Penelitian SMERU, 34 Desember 2006
Dengan mempertimbangkan permasalahan-permasalahan tersebut, tampaknya
diperlukan terobosan khusus untuk meningkatkan pendidikan masyarakat miskin.
Salah satunya adalah dengan membangun SD-SMP satu atap agar akses ke sekolah
lanjutan lebih dekat. Selain itu, diperlukan pendekatan khusus untuk menarik atau
mempertahankan anak laki-laki di lingkungan nelayan agar tetap bersekolah,
misalnya dengan membuat sekolah alternatif dengan jam pelajaran yang lebih
fleksibel. Untuk lebih meningkatkan motivasi sekolah, juga dibutuhkan upaya
peningkatan pendidikan dan keterampilan yang dipadukan dengan penyediaan
lapangan kerja.
(3) Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur jalan dan sarana komunikasi, khususnya di Desa Sipange,
merupakan faktor yang mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa
tersebut karena penjualan hasil pertanian menjadi lebih lancar, dan akses ke sarana
pendidikan dan kesehatan menjadi lebih mudah. Namun, kondisi jalan dan jembatan
di dua desa AKP lainnya sangat memprihatinkan. Beberapa ruas jalan menuju dan di
dalam Desa Mombang Boru kondisinya rusak karena kurang perawatan. Beberapa
jembatan juga rusak karena diterjang banjir. Hal serupa juga terjadi di Desa Kinali, di
mana akses dari dan ke dalam desa terputus karena jembatan-jembatan hanyut setiap
kali terjadi banjir. Bahkan salah satu jembatan gantung dari Desa Kinali menuju desa
tetangganya juga rusak oleh banjir hanya enam bulan setelah jembatan tersebut
diresmikan. Menurut pendapat masyarakat setempat, konstruksi jembatan-jembatan
tersebut tidak dibangun dengan mengantisipasi banjir yang memang sering terjadi,
dan juga tidak melibatkan penduduk setempat dalam perencanaan maupun
pembangunannya. Bahkan pembangunan tanggul penahan air di Desa Pasar
Tarandam yang dibangun oleh provinsi, justru menyebabkan banjir di Desa Kinali.
Kondisi infrastruktur pengairan di Desa Sipange dan Desa Mombang Boru yang
seharusnya mengairi sawah-sawah di desa tersebut juga banyak yang rusak. Selain
karena kurangnya perawatan, kerusakan terjadi juga karena banjir dan pendangkalan
dam. Pengelolaan saluran irigasi sudah tidak berjalan dan masyarakat memang sejak
awal tidak merasa bertanggungjawab terhadap pengelolaan dan pemeliharaan
jaringan irigasi yang ada.
Munculnya permasalahan-permasalahan tersebut memperlihatkan perlunya perubahan
pendekatan dalam perencanaan dan pembangunan proyek-proyek infrastruktur, yaitu
dengan lebih melibatkan masyarakat. Di samping itu, pembangunan infrastruktur
perlu memperhitungkan risiko-risiko bencana alam yang berpotensi menyebabkan
terjadinya kerusakan.
(4) Lingkungan
Isu kerusakan lingkungan tidak secara langsung dikemukakan masyarakat sebagai
penyebab kemiskinan. Namun masyarakat banyak mengemukakan permasalahan
yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan sebagai penyebab kemiskinan. Di antara
permasalahan tersebut adalah pendangkalan muara sungai di Desa Kinali yang
menyebabkan kapal ikan tidak dapat merapat sehingga tempat pendaratan ikan
berpindah ke desa lain. Selain itu, banjir dan abrasi yang menyebabkan rusaknya
Lembaga Penelitian SMERU, 35 Desember 2006
jaringan irigasi, jembatan, dan menggenangi areal persawahan juga dikemukakan di
ketiga desa AKP. Meskipun masyarakat peserta diskusi di desa tidak secara langsung
menyebutkan penggundulan hutan sebagai penyebabnya, beberapa pemangku
kepentingan yang hadir dalam lokakarya mengemukakan perlunya perhatian pada
penggundulan hutan yang disinyalir banyak dilakukan secara ilegal.
Degradasi lingkungan juga terjadi di kawasan pantai dan laut di kabupaten ini.
Menurunnya hasil tangkapan ikan yang dikemukakan di Desa Kinali, juga
dikemukakan oleh masyarakat di Desa Jago-Jago, yaitu desa yang menjadi tempat uji
coba pada saat pelatihan AKP. Menurut masyarakat, penurunan hasil tangkapan ini
disebabkan oleh kerusakan terumbu karang akibat penggunaan bom ikan dan
beroperasinya kapal-kapal pukat Thailand. Dalam forum lokakarya di kabupaten,
permasalahan ini juga dikonfirmasi oleh para pemangku kepentingan. Untuk
mengatasi masalah ini, diperlukan suatu sistem pengawasan masyarakat atas
penggunaan bom dan pengoperasian kapal pukat Thailand. Di samping itu, juga
diperlukan upaya-upaya untuk menumbuhkan kembali dan memelihara kelestarian
terumbu karang.
(5) Keluarga Berencana
Banyak keluarga miskin yang mempunyai banyak anak. Banyaknya jumlah anggota
keluarga menambah beban keluarga miskin. Faktor adat yang mementingkan anak
laki-laki seringkali menyebabkan keluarga tidak membatasi jumlah anak sampai
mereka memiliki anak laki-laki. Selain faktor adat, beberapa pendapat yang
dikemukakan pada saat diskusi dengan masyarakat juga memperlihatkan adanya
persepsi yang salah mengenai efek samping pemakaian alat kontrasepsi. Di
Kabupaten Tapanuli Tengah, perempuan mempunyai peranan dan tanggung jawab
ekonomi yang cukup besar karena merekalah yang pada umumnya mengurus sawah,
ladang, memelihara ternak kecil, dan mencari kayu bakan. Oleh karena itu, mereka
harus memiliki fisik yang kuat. Ada anggapan di masyarakat, khususnya masyarakat
kurang mampu, bahwa penggunaan alat kontrasepsi akan menyebabkan perdarahan
dan badan lemas sehingga mereka tidak bisa bekerja di ladang.
Persepsi keliru seperti ini tidak bisa langsung diluruskan karena banyak bidan desa
yang tidak tinggal atau menetap di desa tempatnya bertugas sehingga hubungan
dengan masyarakat tidak dekat. Di Desa Kinali, misalnya, tidak ada bidan desa. Oleh
karena itu, meskipun jarak ke puskesmas dan bidan desa di desa tetangga hanya
sekitar 1,5 km, pada umumnya persalinan dibantu oleh dukun beranak kampung yang
tidak melayani KB. Kegiatan posyandu juga sudah jarang dilakukan. Guna mengatasi
masalah ini, diperlukan upaya peningkatan program KB melalui penyuluhan dan
tanggapan yang lebih baik terhadap keluhan komplikasi penggunaan alat kontrasepsi.
Petugas kesehatan dan KB juga perlu lebih mendekatkan diri dengan masyarakat
golongan ekonomi lemah, serta melakukan revitalisasi kegiatan posyandu.
Lembaga Penelitian SMERU, 36 Desember 2006
IV. KAPASITAS DAERAH DALAM
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di kabupaten studi dan interaksi dengan
pemda dan para pemangku kepentingan lainnya selama pelaksanaan kajian ini,
terlihat adanya perbedaan kapasitas kedua kabupaten studi dalam penanggulangan
kemiskinan. Dalam konteks ini, yang dimaksudkan dengan kapasitas daerah
bukanlah kapasitas keuangan pemda, melainkan kapasitas kelembagaan yang
mencakup struktur kelembagaan, pemahaman dan perhatian terhadap masalah
kemiskinan, dan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang telah
disusun dan dilaksanakan di masing-masing wilayah. Secara umum, Kabupaten Bima
memiliki kapasitas yang relatif lebih baik dibandingkan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Perbedaan kapasitas tersebut, antara lain dipengaruhi oleh kondisi kemiskinan
wilayah, perkembangan dan aktivitas lembaga-lembaga nonpemerintah, serta
aktivitas lembaga-lembaga donor.
Dengan kondisi iklim yang sangat kering dan tanah yang kurang subur, kemiskinan
merupakan masalah kronis bagi Kabupaten Bima. Oleh karena itu, isu kemiskinan
sudah lama menjadi perhatian utama pemda dan masyarakat Kabupaten Bima pada
umumnya. Sedangkan bagi masyarakat dan Pemda Kabupaten Tapanuli Tengah,
kemiskinan tidak termasuk dalam agenda utama karena kehidupan masyarakat pada
umumnya sangat ditunjang oleh kekayaan sumber daya alam daerah tersebut.
Kemajuan kapasitas Kabupaten Bima juga ditunjang oleh perkembangan lembagalembaga
swadaya masyarakat yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari kegiatan
pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput hingga kegiatan yang bersifat
advokasi. Di samping itu, banyaknya bantuan dari lembaga-lembaga donor, baik yang
secara langsung ditujukan untuk mengatasi masalah kemiskinan maupun yang
ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pemda, juga turut meningkatkan kapasitas
Kabupaten Bima dalam penanggulangan kemiskinan.
Subbab berikut ini menguraikan kapasitas kedua kabupaten studi, dilihat dari sisi
kelembagaan penanggulangan kemiskinan, kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan, dan pengaruh perbedaan kapasitas tersebut terhadap efektivitas upaya
peningkatan kapasitas pemda melalui AKP yang dilaksanakan dalam kajian ini.
4.1. Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan
4.1.1. Kapasitas Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan Pemerintah Daerah
Baik Kabupaten Tapanuli Tengah maupun Kabupaten Bima telah membentuk
Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) sebagaimana diinstruksikan
oleh Menteri Dalam Negeri. Susunan anggota KPKD di kedua kabupaten tersebut
ditetapkan setiap tahun dalam bentuk Surat Keputusan Bupati. Namun, susunan
keanggotaan dan kegiatan yang dilakukan KPKD di kedua kabupaten ini berbeda.
Oleh karena itu, terdapat perbedaan struktur kelembagaan dan tingkat kemajuan
upaya pemda dalam penanggulangan kemiskinan di kedua kabupaten tersebut. Secara
Lembaga Penelitian SMERU, 37 Desember 2006
umum, Kabupaten Bima telah memiliki sruktur kelembagaan penanggulangan
kemiskinan yang relatif lebih inklusif dibandingkan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Namun struktur kelembagaan yang telah dibentuk di Kabupaten Bima itu pun
ternyata masih belum cukup efektif untuk mengkoordinasikan dan mendorong upayaupaya
penanggulangan kemiskinan di kabupaten tersebut.
KPKD di Kabupaten Tapanuli Tengah secara formal mulai dibentuk tahun 2003
berdasarkan SK Bupati No. 255/PMD/Tahun 2003. Susunan keanggotaannya terdiri
dari 10 lembaga satuan kerja pemda. Penangungjawab KPKD adalah Bupati, dengan
Kepala Kantor PMD sebagai ketua pelaksana. Sekretaris KPKD berasal dari Kantor
PMD, sedangkan Kepala Bappeda menjabat sebagai pengarah. Sejak terbentuknya
KPKD sampai dengan saat dilakukan kajian ini, KPKD belum melakukan kegiatan
apa-apa karena tidak ada dukungan dana dari pemerintah kabupaten. Keberadaan
KPKD juga tidak banyak diketahui oleh dinas-dinas sektoral. Oleh karena itu,
Kabupaten Tapanuli Tengah belum mulai menyusun dokumen SPKD dan belum
melakukan kegiatan untuk mengkoordinasikan upaya dan kebijakan penanggulangan
kemiskinan. Beberapa program dinas sektoral yang diberi label “penanggulangan
kemiskinan” masih dilakukan oleh masing-masing dinas, dan secara umum koordinasi
dilakukan oleh Bappeda.
Di Kabupaten Tapanuli Tengah, pendataan keluarga miskin dilakukan oleh Dinas
Keluarga Berencana dan Catatan Sipil dengan menggunakan kriteria keluarga
Prasejahtera dan Sejahtera I yang ditetapkan BKKBN. Selain digunakan untuk
kepentingan program KB, data keluarga miskin tersebut juga digunakan untuk
penentuan sasaran bantuan beras murah untuk keluarga miskin (Raskin). Untuk
penentuan sasaran program jaminan kesehatan untuk keluarga miskin digunakan
kriteria lain berdasarkan petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Departemen
Kesehatan dalam petunjuk pelaksanaan program. Pendataan untuk penentuan
sasaran program ini dilakukan oleh puskesmas dan bidan desa. Sementara itu,
penargetan yang dilakukan dinas-dinas sektoral lainnya juga dilakukan oleh masingmasing
dinas berdasarkan kriteria yang ditetapkan masing-masing sektor.
Meskipun KPKD belum melaksanakan kegiatan, kantor statistik Kabupaten Tapanuli
Tengah telah melakukan beberapa analisis mengenai kondisi kemiskinan di
kabupaten ini. Dengan menggunakan data tahun 1999 sampai 2002, BPS Kabupaten
Tapanuli Tengah telah mempublikasikan analisis kemiskinan yang membahas
kecenderungan angka kemiskinan, indeks pembangunan manusia, dan indeks
kemiskinan manusia. Selain itu, BPS Kabupaten Tapanuli Tengah juga melakukan
identifikasi desa tertinggal berdasarkan beberapa indikator lokal dan ikut serta dalam
proyek pengembangan indikator terkait dengan kemiskinan yang dilaksanakan oleh
BPS Pusat. Sayangnya, hasil-hasil analisis BPS Kabupaten Tapanuli Tengah tersebut
belum digunakan oleh pemda dalam penyusunan kebijakan dan program daerah.
Adapun KPKD Kabupaten Bima yang disahkan melalui Keputusan Bupati Nomor 95
Tahun 2004, terdiri dari unsur pemerintah dan nonpemerintah. Susunan pimpinan
KPKD tersebut terdiri dari Bupati Bima sebagai penanggungjawab, Sekretaris Daerah
dan Asisten Administrasi Pembangunan dan Kesejahteraan, serta Ketua Bappeda
sebagai pengarah, Kepala BPMPP sebagai ketua pelaksana, dan Kepala Bidang
Lembaga Penelitian SMERU, 38 Desember 2006
Ekonomi BPMPP sebagai sekretaris. Untuk melaksanakan program kerjanya, KPKD
membentuk empat kelompok kerja (pokja), yaitu:
(i) Pokja I bidang Data, Informasi, dan Publikasi, dengan koordinator Kepala BPS.
(ii) Pokja II Bidang Pengembangan LKM dan UKM, dengan koordinator Kepala
Dinas Perdagangan dan Perindustrian.
(iii) Pokja III Bidang Pelaksana Program dan Kegiatan, dengan koordinator Kepala
Dinas Kesehatan.
(iv) Pokja IV Bidang Monitoring dan Evaluasi, dengan koordinator Kepala Bina
Program Sekretariat Daerah.
Unsur nonpemerintah yang menjadi anggota pokja-pokja tersebut terdiri dari wakil
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi massa (ormas) lain,
dan lembaga donor. Unsur dari perguruan tinggi adalah Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (STISIP) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE). Unsur LSM meliputi
LP3M, Yayasan Bangun Daya Bima, dan Yayasan Peduli Bangun Bangsa, sedangkan
unsur dari ormas adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), dari lembaga swasta diwakili
PD Wawo, dan dari lembaga donor dari Promis-NT.5
Sejak mulai dibentuk, KPKD Kabupaten Bima telah melakukan beberapa kegiatan, di
antaranya adalah:
(1) Inventarisasi program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan
berbagai dinas/instansi pemerintah pada 2003-2004.
(2) Pendataan Kelompok Usaha Ekonomi Produktif yang dibentuk melalui Program
UED-SP, IDT, PDM-DKE, Lumbung Desa, dan Program NTAADP, pada 2003.
(3) Pendataan Keluarga Miskin di Kabupaten Bima (2003) dengan menggunakan
indikator lokal yang merupakan gabungan antara indikator BPS, BKKBN, dan
indikator yang diusulkan dinas-dinas terkait lainnya.
(4) Penyusunan draf Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD).
Berdasarkan kriteria yang dikembangan KPKD tersebut, hasil pendataan keluarga
miskin pada 2003/2004 memperlihatkan bahwa keluarga miskin di Kabupaten Bima
berjumlah sekitar 42.500 KK. Jumlah ini jauh lebih besar dari hasil pengolahan data
Susenas berdasarkan pendekatan Garis Kemiskinan yang berjumlah 98.800 jiwa atau
24.000 KK. Namun, hasil pendataan keluarga miskin tersebut ternyata tidak
dijadikan acuan penentuan sasaran program penanggulangan kemiskinan yang
dilakukan oleh berbagai instansi/dinas sektoral. Hal ini terjadi karena dalam
pendataan tersebut tidak dicakup data-data spesifik yang sesuai dengan kebutuhan
sektor-sektor terkait. Selain itu, beberapa dinas juga berpendapat bahwa hasil
pendataan kurang mutakhir, sedangkan pemda menghadapi kendala biaya untuk
melakukan pemutakhiran data untuk tahun-tahun berikutnya.
Bappeda memulai penyusunan draf dokumen SPKD Kabupaten Bima pada 2004
dengan dukungan Promis NT. Selanjutnya, draf awal yang disusun Bappeda tersebut
disempurnakan berdasarkan masukan dari anggota KPKD. Walaupun demikian,
5Promis-NT adalah salah proyek dari GTZ untuk daerah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur. Proyek ini terdiri dari PRODA yang yang memberikan dukungan dalam peningkatan
partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan dan penganggaran,
dan PROSPEK yang bertujuan mengidentifikasi potensi pengembangan ekonomi lokal. Proyek
dimulai tahun 1998 dan masih berjalan hingga saat kajian ini dilaksanakan.
Lembaga Penelitian SMERU, 39 Desember 2006
dalam penyusunan draf ini tidak dilakukan konsultasi dengan masyarakat umum
maupun dengan masyarakat miskin. Berdasarkan tinjauan terhadap draf SPKD versi
terakhir terlihat bahwa secara umum draf SPKD ini sudah mengikuti kerangka yang
disarankan oleh dokumen interim strategi penanggulangan kemiskinan nasional.
Namun, masih ada beberapa kelemahan dalam draf tersebut, di antaranya adalah
diagnosa kemiskinan yang hanya menggunakan data kemiskinan yang sangat
terbatas, kaji-ulang kebijakan yang baru menyajikan program tahun-tahun
sebelumnya tanpa membahas efektivitas program-program tersebut, belum adanya
gambaran yang jelas mengenai arah kebijakan untuk penanggulangan kemiskinan,
dan adanya program-program yang masih sangat umum dan kurang terkait dengan
kemiskinan.
Meskipun KPKD Kabupaten Bima telah melakukan beberapa kegiatan, banyak pihak,
termasuk beberapa anggota KPKD, menilai bahwa efektivitas lembaga ini dalam
mengkoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan masih
lemah. Lemahnya peranan KPKD tersebut antara lain disebabkan karena sangat
terbatasnya dukungan dana dari pemda sehingga tidak memungkinkan untuk
dilaksanakannya rapat koordinasi secara lebih intensif. Selain itu, penyebab yang
lebih mendasar justru terletak pada struktur kelembagaan KPKD sendiri. Karena
adanya instruksi dari Menteri Dalam Negeri, ketua pelaksana KPKD dijabat oleh
Kepala BPMPP dan sekretariat KPKD juga berada di Kantor BPMPP, yang
berdasarkan tugas dan fungsinya bukanlah lembaga yang bertugas melaksanakan
koordinasi pembangunan di daerah. Fungsi koordinasi secara fungsional dilaksanakan
oleh Bappeda sehingga dalam praktiknya lebih banyak inisiatif koordinasi diperankan
oleh Bappeda yang mempunyai basis data dan kompetensi staf yang lebih memadai
untuk melaksanakan koordinasi penanggulangan kemiskinan, sekaligus sebagai
bagian dari koordinasi pembangunan pada umumnya. Oleh karena itu, meskipun
sekretariat KPKD berada di kantor BPMPP, pada praktiknya Bappeda lah yang lebih
banyak berperan dalam penyusunan SPKD maupun dalam memasukkan agenda
penanggulangan kemiskinan dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah.
Dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2005 tentang
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), kelembagaan penanggulangan
kemiskinan di tingkat pusat diubah dari Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK)
menjadi Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Sebagai tindak
lanjut, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran Mendagri No.
412.6/3186/SJ, yang menginstruksikan kepada semua daerah untuk menyesuaikan
kelembagaan penanggulangan kemiskinan sejalan dengan perubahan di tingkat pusat.
Menanggapi adanya surat edaran tersebut, Kabupaten Bima menyatakan bahwa
berbagai upaya koordinasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang
selama ini telah dilakukan oleh KPKD akan terus dilanjutkan, dikembangkan, dan
disempurnakan melalui TKPK. Namun, muncul kritik bahwa susunan anggota TKPK
dalam Surat Edaran Mendagri tersebut terlalu eksklusif karena hanya terdiri dari
unsur pemerintah. Hal ini dianggap sebagai langkah mundur karena susunan anggota
KPKD justru sudah menyediakan ruang partisipasi yang lebih luas bagi unsur-unsur
dari lembaga nonpemerintah.
Lembaga Penelitian SMERU, 40 Desember 2006
4.1.1. Peran Lembaga Nonpemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan
Perkembangan berbagai bentuk lembaga nonpemerintah di Kabupaten Tapanuli
Tengah berbeda dengan di Kabupaten Bima. Di Kabupaten Tapanuli Tengah,
sebagian besar lembaga nonpemerintah berbentuk ormas, yang antara lain terdiri dari
lembaga keagamaan dan lembaga kepemudaan. Lembaga swadaya masyarakat (LSM)
masih sangat jarang. Beberapa LSM yang ada lebih banyak bergerak di bidang
advokasi politik dan masih sangat sedikit atau hampir tidak ada yang secara khusus
bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput. Meskipun
berbagai ormas yang ada juga mempunyai kegiatan yang secara langsung dan tidak
langsung membantu masyarakat yang kurang mampu, dapat dikatakan bahwa
peranan lembaga-lembaga nonpemerintah tersebut dalam penanggulangan
kemiskinan masih sangat terbatas. Dengan kondisi kelembagaan penanggulangan
kemiskinan yang belum bersifat partisipatoris dan memang belum
mengakomodasikan peranan unsur nonpemerintah dalam proses perencanaan
pembangunan, maka peranan lembaga nonpemerintah dalam advokasi kebijakan
penanggulangan kemiskinan masih sangat lemah. Walaupun demikian, ada indikasi
bahwa pemda mulai melibatkan unsur-unsur nonpemerintah dalam proses
perencanaan pembangunan akhir-akhir ini, yaitu dengan mengundang unsur-unsur
nonpemerintah dalam kegiatan rakorbang (rapat koordinasi pembangunan) tingkat
kabupaten.
Di Kabupaten Bima, LSM telah berkembang pesat dan diperkirakan jumlahnya telah
mencapai ratusan. Jumlah LSM secara pasti sulit diperoleh karena banyak LSM yang
baru dibentuk dan banyak yang tidak aktif lagi. Perkembangan LSM ini antara lain
didukung oleh banyaknya program-program lembaga donor dan LSM internasional
yang menyalurkan bantuan kepada masyarakat melalui LSM lokal. Selain itu, juga
banyak kerja sama antara LSM lokal dengan pemda dalam pelaksanaan proyek dan
program penanggulangan kemiskinan. Aktivitas yang dilakukan berbagai LSM sangat
bervariasi, mulai dari kegiatan yang bersifat advokasi sampai kegiatan pendampingan
dan pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput. Beberapa LSM di Kabupaten
Bima juga terlibat dalam monitoring dan evaluasi program secara independen dan
memberikan masukan untuk perbaikan kebijakan dan program pemerintah.
Dibandingkan dengan kondisi di Kabupaten Tapanuli Tengah, peranan LSM di
Kabupaten Bima dalam penanggulangan kemiskinan secara langsung relatif lebih
besar, demikian pula dengan peranannya dalam bidang advokasi kebijakan
penanggulangan kemiskinan. Besarnya peranan LSM dalam advokasi kebijakan juga
sangat ditunjang oleh struktur kelembagaan KPKD yang lebih terbuka bagi partisipasi
lembaga nonpemerintah dan telah dikembangkannya proses perencanaan
pembangunan yang bersifat partisipatoris.
Walaupun demikian, tingginya partisipasi para pemangku kepentingan dari lembaga
nonpemerintah di Kabupaten Bima belum diikuti dengan koordinasi secara intensif
untuk kepentingan peningkatan efektifitas berbagai program penanggulangan
kemiskinan yang berjalan. Manajemen pengelolaan program antarintansi
pemerintah, antarlembaga nonpemerintah (LSM/perguruan tinggi), dan antara
pemda dan lembaga-lembaga nonpemerintah, mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, maupun monev masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menjadi
Lembaga Penelitian SMERU, 41 Desember 2006
hambatan yang perlu diatasi oleh semua pihak di Kabupaten Bima dan tampaknya
KPKD belum mampu mengefektifkan peranannya dalam upaya koordinasi tersebut.
4.2. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan
Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Bima mengadopsi pendekatan
pembangunan daerah yang berbeda. Perbedaan tersebut mencerminkan adanya
perbedaan perhatian dan cara pandang pemda terhadap masalah kemiskinan di
wilayahnya. Berdasarkan tinjauan terhadap dokumen-dokumen perencanaan
pembangunan yang ada, terlihat bahwa fokus pembangunan Kabupaten Tapanuli
Tengah lebih mengarah pada pembangunan fisik dan infrastruktur yang pada
gilirannya diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa adanya
arahan khusus untuk mengatasi kemiskinan. Sedangkan dalam dokumen
perencanaan pembangunan Kabupaten Bima, termasuk dalam draf SPKD dan draf
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), perhatian ke masalah
kemiskinan dinyatakan secara lebih eksplisit. Dalam dokumen-dokumen tersebut
dikemukakan bahwa pendekatan pembangunan yang diadopsi oleh pemda tidak
semata-mata mengandalkan pembangunan fisik dan infrastruktur, tetapi juga
menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat.
4.2.1. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten
Tapanuli Tengah
Kenyataan bahwa Kabupaten Tapanuli Tengah adalah kabupaten yang kaya akan
sumber daya alam cenderung membuat pemda tidak memberikan perhatian yang cukup
besar terhadap masalah kemiskinan. Banyak di antara para pemangku kepentingan yang
beranggapan bahwa kemiskinan banyak terdapat di kalangan nelayan yang miskin
karena perilaku tidak hemat dan di kalangan pendatang dari daerah lain, khususnya dari
Nias, yang kebanyakan menjadi buruh perkebunan atau buruh nelayan. Permasalahan
yang paling banyak dikemukakan di tingkat kabupaten adalah ketertinggalan
pembangunan di wilayah pantai barat Sumatera dan keterisolasian dari pusat
pertumbuhan di wilayah pantai timur. Perhatian terhadap masalah kemiskinan juga
semakin kecil dengan adanya ketidakstabilan politik di kabupaten ini.
Visi pembangunan Kabupaten Tapanuli Tengah adalah untuk membangun
kabupaten ini menjadi pusat perdagangan dan industri pariwisata di wilayah pantai
barat Sumatera atau di wilayah Tapanuli. Program yang banyak didengungkan oleh
Bupati Tapanuli Tengah dikenal dengan istilah “Tapanuli Growth”. Melalui
pembangunan transportasi darat, air (laut), dan udara secara terpadu, kabupaten ini
berkeinginan untuk membangun industri berbasis pertanian dan pariwisata, yang
pada gilirannya diharapkan akan menciptakan banyak lapangan kerja, meningkatkan
perdagangan hasil-hasil pertanian, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Berdasarkan dokumen Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten 2000-
2005, prioritas pembangunan diarahkan pada pembangunan infrastruktur, diikuti
oleh pembangunan sumber daya manusia melalui peningkatan pendidikan dan
pelayanan kesehatan dan dukungan bagi tata pemerintahan yang baik. Di antara
pembangunan infrastruktur yang terbesar adalah pembangunan pelabuhan laut,
lapangan terbang, dan pembangkit listrik tenaga air.
Lembaga Penelitian SMERU, 42 Desember 2006
Meskipun dalam dokumen perencanaan tidak ada arahan khusus untuk kebijakan
penanggulangan kemiskinan, hampir semua dinas di Kabupaten Tapanuli Tengah
beranggapan bahwa program-program yang mereka laksanakan ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, atau penduduk yang bermukim di
daerah terpencil sehingga dapat dianggap sebagai program penanggulangan
kemiskinan. Sebagian besar dari program-program tersebut dibiayai oleh Pemerintah
Pusat dan provinsi melalui mekanisme dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Program/proyek bantuan luar negeri di Kabupaten Tapanuli Tengah masih sangat
terbatas dan hampir tidak ada bantuan dari LSM international.
Sebagian besar program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Tapanuli Tengah
berupa program pemberdayaan perekonomian masyarakat melalui program
peningkatan produksi pertanian dan perikanan, bantuan modal koperasi dan UMKM
(Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro). Di antara program-program pemberdayaan
perekonomian masyarakat yang telah dilaksanakan di kabupaten ini adalah Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dari Departemen Kelautan dan
Perikanan, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dari Bank Dunia, dan Program
Pengembangan Prasarana Desa (P2D) dari JBIC. Bantuan lembaga donor lainnya
adalah proyek Coral Reef Rehabilitation (Coremap) yang masih dalam tahap
persiapan memasuki tahun kedua, serta program Marginal Fishing-Community
Development Programs (MFCDP) yang masih dalam tahap persiapan.
Program lainnya adalah program bantuan ADB yang secara tidak langsung bertujuan
untuk mengatasi masalah kemisknan melalui peningkatan kapasitas pemda dalam
administrasi keuangan, yaitu SCBD (Sustainable Capacity Building for
Decentralization). Program ini mulai dipersiapkan pada 2005 dan akan dimulai 2006.
Adapun program-program bantuan bagi masyarakat miskin dari Pemerintah Pusat,
antara lain, meliputi program Raskin, Kartu Sehat (JPS Gakin), program perbaikan
permukiman nelayan dari Departemen Sosial, UED-SP dan UP2K yang dilaksanakan
sampai 2001, beasiswa bagi murid miskin, dan bantuan tanggap darurat banjir.
Dalam kaitan dengan ketersediaan akses modal usaha bagi masyarakat miskin, usaha
informal, dan usaha kecil-menengah, di Kabupaten Tapanuli Tengah belum ada LSM
yang memberikan pelayanan keuangan mikro. Pelayanan kredit usaha kecilmenengah
diberikan oleh BRI dan satu BPR yang berlokasi di Kota Sibolga.
Sedangkan pelayanan oleh bank swasta masih terbatas bagi masyarakat perkotaan
atau sekitar perkotaan. Pelayanan kredit perbankan ini lebih banyak dinikmati oleh
pegawai dengan gaji tetap dan kelompok tidak miskin. Dalam diskusi dengan
masyarakat di desa-desa lokasi AKP, masyarakat mengungkapkan bahwa kredit BRI
sangat jauh dari jangkauan mereka.
Bantuan permodalan dari Pemerintah Pusat maupun Pemda Kabupaten Tapanuli
Tengah kebanyakan disalurkan melalui koperasi. Menurut perkiraan Dinas
Perdagangan dan Investasi terdapat 290 koperasi, tetapi 119 koperasi sudah tidak
aktif lagi karena tidak pernah lagi melakukan rapat anggota tahunan. Beberapa
koperasi yang masih aktif dan dianggap mempunyai kinerja yang baik mendapat
bantuan modal, terutama dari program-program Pemerintah Pusat, seperti dari
program subsidi BBM (20 koperasi menerima dana ini dan empat di antaranya tidak
menerima lagi) dan bantuan penguatan modal untuk koperasi agribisnis dari
Lembaga Penelitian SMERU, 43 Desember 2006
Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Anggota koperasi tersebut sebagian besar
bekerja sebagai nelayan dan petani. Sebagian besar koperasi yang masih aktif adalah
koperasi serba usaha yang melakukan berbagai bentuk usaha. Walaupun kinerja
sebagian besar koperasi masih dipertanyakan, terdapat satu koperasi di Kecamatan
Pinangsori (Koperasi Dosnitahe) yang telah berkembang dengan baik. Berdasarkan
laporan yang ada, koperasi ini telah mempunyai 3.200 orang anggota.
4.2.2. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bima
Bagi Pemda Kabupaten Bima dan para pemangku kepentingan lainnya, termasuk
lembaga-lembaga donor dan LSM internasional, penanggulangan kemiskinan
merupakan salah satu prioritas utama program pembangunan. Kondisi kemiskinan
sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta keterpencilan daerah, menjadikan
kemiskinan sebagai masalah kronis bagi kabupaten ini. Dalam Propeda (Program
Pembangunan Daerah) 2000-2005, dinyatakan bahwa visi pembangunan Kabupaten
Bima dalam periode tersebut adalah “Terwujudnya Daerah dan Masyarakat Bima yang
sejahtera, mandiri, dan maju berdasarkan keterbukaan, keadilan, dan demokrasi dengan
Ridho Tuhan yang Maha Esa.” Dalam mewujudkan visi tersebut, tiga butir pertama
dalam misi yang ditetapkan langsung berkaitan dengan upaya penanggulangan
kemiskinan, yaitu: mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberdayakan
masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi daerah, dan mewujudkan iklim
pendidikan umum maupun pendidikan agama yang demokratis, bermutu, serta
terampil. Di samping itu, program peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia juga dinyatakan sebagai dua di antara
tujuh program yang menjadi prioritas pembangunan daerah.
Berdasarkan sumber pembiayaannya, program-program penanggulangan kemiskinan
yang telah dan sedang dilaksanakan di Kabupaten Bima, dapat dibedakan menjadi
program-program yang berasal dari anggaran pemerintah (APBN/APBD) dan yang
berasal dari lembaga donor. Kegiatan penanggulangan kemiskinan dari anggaran
APBN dalam bentuk dana dekonsentrasi atau pembantuan meliputi: PDMDKE
(1998-2003), JPSBK (1998-2003), OPK Beras (1998-2003), Proyek Air Bersih dan
Penyehatan Lingkungan (2002-2003), Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir (2001-2002), Program Ekonomi Lokal (2000-2002), Program Ketahanan
Pangan (2002-2003), dan Program Komunitas Adat Terpencil (KAT) (2003 –
sekarang). Selain itu, program yang dibiayai APBD Kabupaten dilaksanakan oleh
masing-masing sektor.
Salah satu program penanggulangan kemiskinan yang bersumber dari program
pemerintah diberikan dalam bentuk kredit mikro. Kebanyakan program kredit mikro
tersebut mengalami hambatan dalam keberlanjutannya, atau bahkan macet. Menurut
beberapa LSM, perkembangan usaha kecil/mikro tidak dapat dikatakan berhasil.
Masyarakat masih banyak yang memandang bantuan modal usaha yang diberikan
melalui program pemerintah sebagai hibah. Karena itu, banyak yang dengan sengaja
tidak mengembalikan pinjamannya. Ketika masyarakat melihat bahwa mereka yang
tidak mengembalikan pinjaman tidak mendapat sanksi, maka persepsi tentang “uang
program pemerintah tidak perlu dikembalikan” menjadi makin meluas dalam
masyarakat.
Lembaga Penelitian SMERU, 44 Desember 2006
Sebagian dari kredit mikro tersebut diberikan melalui koperasi. Di Kabupaten Bima,
menurut perkiraan Dinas Perdagangan dan Industri, terdapat lebih dari 200
koperasi, yang 170 di antaranya masih melaksanakan rapat anggota tahunannya.
Pemerintah Kabupaten Bima masih menggunakan koperasi sebagai alat untuk
penguatan ekonomi masyarakat miskin dan telah mengalokasikan sekitar Rp2
milyar dari APBD untuk program penguatan koperasi. Program pengembangan
kelompok usaha masyarakat melalui pembinaan oleh Dinas Koperasi dan PKM, saat
ini telah melahirkan sebanyak 255 KUKM, dan 128 KSP/USP/LKM yang tersebar
di 14 kecamatan, meskipun penyebarannya belum merata di setiap desa. Tetapi
menurut perkiraan sebuah LSM, hanya sekitar 10 koperasi saja yang masih berjalan
dengan baik.
Dibandingkan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, program-program di Kabupaten
Bima yang dibiayai lembaga donor dan NGO Internasional relatif lebih banyak, di
antaranya adalah:
1. Program IMS-NTAADP, Bank Dunia, 1999–2003, dalam bentuk peningkatan
kegiatan usahatani dan pengolahan hasil.
2. Program Second Water and Sanitation for Low Income Communities (WSLICII),
Bank Dunia, 1998–2003, dalam bentuk penyediaan sarana air bersih dan
sanitasi.
3. Program Pengembangan Prasarana Desa (P2D), JBIC, 2002, 2003, dalam
bentuk pembangunan prasarana fisik desa.
4. Program Promis-NT/GTZ, BMZ, 1998–2003, dalam bentuk pembinaan
kelompok swadaya masyarakat, budidaya pertanian, dan padat karya, serta
perencanaan partisipatoris di tingkat lokal.
5. Program Plan International, Foster Parents dari 14 Negara, 1998–2003, dalam
bentuk pembangunan fisik dan nonfisik di sektor pendidikan, kesehatan, dan
lingkungan.
6. Participatory Integrated Development in Rainfed Area (PIDRA), IFAD, 2001–
2008, dengan kegiatan pembentukan kelompok, peningkatan produksi
pertanian dengan konservasi dan perbaikan SDA, serta perbaikan sarana dan
prasarana perdesaan.
7. Program Pengembangan Sistem Pelaksanaan Pengembangan Hutan Berbasis
Masyarakat, DFID, 2002, 2005, dalam bentuk penanaman dan pembibitan
pohon dan fasilitasi metode PRA untuk mendapat masukan dari masyarakat.
8. Decentralized Agricultural and Forestry Extention Project (DAFED), IBRD 2001,
dengan kegiatan di bidang ketahanan pangan dan penyuluhan pertanian.
9. Program Pertanian Berkelanjutan, Veco (Vredeseilanden Country Office
Indonesia), 2003–2007, dalam bentuk pengembangan institusi desa dan
kelompok masyarakat.
10. Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K),
IBRD, Departemen Pertanian dan BRI Fase I, II, dan III, 1998–2003.
11. Women Health and Family Welfare (WHFK), AusAID, 2002–2006, dengan
kegiatan di bidang kesehatan perempuan dan kesejahteraan keluarga.
12. Program Kesehatan dan Yodiumisasi (JP-GAKY), Bank Dunia, 2002–2006.
Walaupun program bantuan lembaga donor dan LSM Internasional di Kabupaten
Bima telah berlangsung lama dan jumlahnya banyak, tetapi penyebarannya tidak
merata di seluruh kecamatan/desa, serta belum dikelola dan dikembangkan secara
Lembaga Penelitian SMERU, 45 Desember 2006
terpadu. Situasi ini memperlihatkan masih kurangnya koordinasi antara pemda
dengan lembaga donor/LSM Internasional, serta lemahnya pemetaan permasalahan
kemiskinan secara menyeluruh.
4.3. Kontribusi Kajian terhadap Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan
Kemiskinan
Melalui rangkaian diskusi kelompok di tingkat kabupaten, kajian ini berupaya untuk
mengangkat isu kemiskinan dan mendiskusikan faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan di masing-masing kabupaten. Diharapkan dari diskusi-diskusi tersebut
terjadi peningkatan kesadaran, pemahaman, dan perhatian terhadap faktor-faktor
yang memengaruhi kondisi kemiskinan di masing-masing daerah. Dari jalannya
diskusi dan isu-isu yang didiskusikan terlihat adanya perubahan cara pandang para
pemangku kepentingan yang terlibat dalam rangkaian diskusi tersebut.
Bagi para pemangku kepentingan di Kabupaten Bima, metode diskusi yang
dilaksanakan dalam rangka kajian ini bukanlah hal yang baru karena pendekatan
perencanaan pembangunan secara partisipatoris telah dilakukan selama beberapa
tahun terakhir. Walaupun demikian, materi diskusi, khususnya setelah ada masukan
dari hasil diskusi dengan masyarakat desa melalui AKP, telah secara sistematis
memberikan masukan mengenai berbagai faktor dan permasalahan yang tadinya tidak
muncul dalam agenda pembangunan daerah sebagaimana dijelaskan pada Bab III.
Adapun bagi para pemangku kepentingan di Kabupaten Tapanuli Tengah, metode
diskusi partisipatoris merupakan hal yang relatif baru. Karena para pemangku
kepentingan khususnya dari kalangan pemda belum terbiasa untuk menerima kritik,
maka cukup banyak resistensi yang dikemukakan dinas-dinas terkait dalam diskusi
kelompok kedua, yang menyampaikan hasil awal dari diskusi AKP di tingkat desa.
Walaupun demikian, pada diskusi terbatas dan lokakarya akhir di tingkat kabupaten,
tampaknya dinas-dinas terkait sudah lebih akomodatif dan justru telah mulai
menyusun gagasan upaya yang dibutuhkan untuk mengatasi berbagai permasalahan
yang dikemukakan pada diskusi-diskusi terdahulu.
Meskipun belum dapat dipantau apakah hasil diskusi betul-betul diwujudkan,
setidaknya pengalaman tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk memperkenalkan
pendekatan partisipatoris di daerah yang belum pernah tersentuh pendekatan ini
cukup efektif dalam meningkatkan keterbukaan dinas-dinas sektoral di lingkungan
pemda. Bahkan pengalaman tersebut telah memberikan inspirasi bagi beberapa staf
Bappeda Kabupaten Tapanuli Tengah untuk mencoba menerapkan pendekatan
tersebut dalam rapat koordinasi pembangunan mereka.
Secara khusus, hasil kegiatan AKP juga telah memberikan kontribusi bagi
penyempurnaan draf rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah
(RPJM dan RPJP) Kabupaten Bima. Karena AKP dilaksanakan segera setelah
dilakukan pemilihan bupati, dan pada saat yang bersamaan sedang dilakukan
penyempurnaan draf RPJP dan RPJM, maka hasil awal AKP dapat dijadikan masukan
bagi proses tersebut. Di samping itu, keterlibatan beberapa staf kunci yang ikut
mempersiapkan dokumen RPJM dan RPJP dalam kajian AKP ini, juga mendukung
dimasukkannya beberapa hasil AKP dalam pembahasan penyempurnaan dokumendokumen
tersebut. Dengan adanya keterlibatan langsung dan pengalaman sebagai
Lembaga Penelitian SMERU, 46 Desember 2006
anggota Tim AKP kabupaten, maka anggota Tim AKP menyatakan bahwa
pemahaman dan rasa keberpihakan mereka terhadap masalah yang dihadapi
masyarakat meningkat. Di samping itu, juga muncul gagasan-gagasan mengenai
penggunaan AKP dalam penyusunan dokumen perencanaan maupun penyempurnaan
mekanisme pelaksanaan perencanaan pembangunan partisipatoris yang telah
dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana akan dibahas pada Bab V.
Dibandingkan dengan di Kabupaten Bima, kontribusi kajian terhadap peningkatan
kapasitas perencanaan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Tapanuli Tengah
tidak terlalu nyata. Adanya gejolak dan ketegangan politik cenderung menurunkan
perhatian para pemangku kepentingan terhadap isu-isu pembangunan pada
umumnya, dan isu kemiskinan pada khususnya. Akibatnya, tidak ada anggota DPRD
yang hadir dalam kegiatan-kegiatan diskusi di tingkat kabupaten. Tidak diakuinya
hasil pemilihan bupati yang dilaksanakan pada Desember 2005 juga menyebabkan
belum disusunnya RPJP dan RPJM kabupaten ini sehingga hasil AKP belum dapat
dijadikan masukan bagi dokumen-dokumen pembangunan tersebut. Walaupun
demikian, pada saat lokakarya akhir di tingkat kabupaten, pihak Bappeda
menyatakan komitmennya untuk memperhatikan masukan-masukan dari hasil AKP
dalam pembahasan program pembangunan tahunan dengan dinas-dinas terkait. Di
samping itu, beberapa dinas sektoral memberikan tanggapan positif terhadap kritik
dan saran yang disampaikan dari hasil AKP ini.
Lembaga Penelitian SMERU, 47 Desember 2006
V. PROSES PERENCANAAN PEMBANGUNAN
DAERAH DAN POTENSI PENGINTEGRASIAN
ANALISIS KEMISKINAN PARTISIPATORIS (AKP)
Saat ini, UU No. 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional
merupakan landasan hukum mekanisme perencanaan pembangunan, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Menurut undang-undang ini, rencana pembangunan
di daerah dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah, dan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Selain itu, rencana pembangunan
sektoral dituangkan dalam Renstra-SKPD (Rencana Strategis-Satuan Kerja
Perangkat Daerah) dan Renja-SKPD (Rencana Kerja-Satuan Kerja Perangkat
Daerah). RPJM Daerah ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah, sedangkan RKPD
ditetapkan dalam bentuk peraturan kepala daerah.
Berdasarkan undang-undang baru ini, dokumen-dokumen rencana pembangunan
disusun melalui beberapa tahapan yang salah satunya adalah musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang) (lihat Gambar 8). Forum musrenbang
bukanlah hal yang baru karena sebelumnya telah dikenal dan dilaksanakan forum
musyawarah pembangunan (musbang) mulai dari tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi, sampai nasional. Perbedaannya, dahulu forum musbang hanya
melibatkan unsur-unsur dari kalangan pemerintah, sedangkan menurut undangundang
yang baru ini, forum musrenbang seharusnya dilakukan secara partisipatoris
dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap
pembangunan, antara lain: asosiasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat, pemuka adat dan pemuka agama, serta kalangan dunia usaha. Pelibatan
Dokumen-Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah menurut UU No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah
Pasal 5:
(1) RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP
Nasional
(2) RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah
kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan
Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan.
(3) RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rencana
kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh
dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Pasal 7:
(1) Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah
serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif.
(2) Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu kepada
RKP, memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan
langsung oleh Pemerintah Daerah maupun dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Lembaga Penelitian SMERU, 48 Desember 2006
berbagai pihak tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan
rasa memiliki. Dengan demikian, diharapkan sistem perencanaan ini dapat
mengoptimalkan keikutsertaan masyarakat, agar dapat mengakomodasikan
kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
Gambar 8. Rangkaian Proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang)
Meskipun secara umum proses perencanaan pembangunan daerah mengacu pada
undang-undang tersebut, dalam praktiknya proses perencanaan yang dilaksanakan oleh
daerah berbeda-beda. Proses perencanaan pembangunan yang dilaksanakan di
Kabupaten Tapanuli Tengah agak berbeda dengan di Kabupaten Bima. Perbedaan ini
terjadi antara lain karena telah dikembangkannya proses perencanaan partisipatoris dan
relatif tingginya aktivitas LSM di Kabupaten Bima. Uraian di bawah ini akan
menjelaskan perbedaan proses perencanaan pembangunan yang dilaksanakan di
Kabupaten Tapanuli Tengah dan di Kabupaten Bima tersebut. Pada bagian berikutnya
akan didiskusikan potensi pengintegrasian AKP dalam proses perencanaan yang sudah
berjalan di kedua kabupaten tersebut. Gagasan mengenai pengintegrasian AKP dan
berbagai kemungkinan kendala yang dihadapi tersebut dikemukakan oleh Bappeda dan
Tim AKP Kabupaten setelah berpartisipasi dalam kajian ini.
5.1. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah yang Sedang Berjalan
Proses perencanaan pembangunan yang dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Tengah
sebelum ditetapkannya UU No. 25 Tahun 2004 dimulai dari Musyawarah
Pembangunan Desa (musbangdes), dilanjutkan dengan musbang kecamatan,
musbang kabupaten, dan pada akhirnya dibahas dan ditetapkan oleh Bupati dan
Forum SKPD
Provinsi
Musrenbang
Kab/Kota
Musrenbang
Kecamatan
Musrenbang
Desa/Kelurahan
JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI
PEMERINTAH PUSAT PEMERINTAH DAERAH
Penyusunan
Renja SKPD Provinsi
Penyusunan
RKPD Kabupaten/Kota
Penyusunan Renja
SKPD Kabupaten/Kota
Penyusunan
RKPD Provinsi
B U L A N
Pasca Musrenbang
Kab/Kota
RKPD
Penyusunan
RKP
Musrenbang
Pusat
Musrenbang
Nasional
RKP
Musrenbang
Provinsi
RKPD
Sumber: SEB MPPN/Kepala Bappenas dan Mendagri tentang Tata Cara PenyelenggaraanMusrenbang Tahun 2005
Pasca Musren
Provinsi
Forum SKPD
Kabupaten/Kota
Renja
SKPD
Renja
SKPD
Renja
K/L
Lembaga Penelitian SMERU, 49 Desember 2006
DPRD. Sampai tahun 2000, kegiatan musbangdes masih dilaksanakan, dan bahkan
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) telah melatih kader untuk
melaksanakan musbangdes di beberapa kecamatan. Selain untuk menyusun usulan
program pembangunan yang akan diajukan ke musbang kecamatan, forum
musbangdes juga membahas pemanfaatan dana bangdes (Pembangunan Desa) untuk
masing-masing desa.
Setelah mulai dilaksanakannya desentralisasi pada 2001, tidak ada lagi dana bangdes
dari APBN dan tidak ada alokasi serupa dari APBD untuk menggantikan dana
tersebut. Oleh karena itu, kegiatan musbangdes tidak dilaksanakan lagi. Sejak 2001
proses musbang dimulai di tingkat kecamatan. Kegiatan musbang kecamatan
melibatkan utusan dari desa-desa di kecamatan tersebut, kantor PMD, Bappeda,
instansi-instansi di kecamatan dan anggota DPRD dari daerah pemilihan kecamatan
tersebut. Adapun musbang kabupaten melibatkan utusan dari kecamatan dan dinasdinas
di lingkungan pemda.
Setelah ditetapkannya UU No. 25 Tahun 2004, kegiatan musrenbang di Kabupaten
Tapanuli Tengah tetap dilaksanakan di tingkat kecamatan dan kabupaten, dengan
lebih banyak peserta dibandingkan forum musbang kecamatan dan kabupaten yang
sudah biasa dilaksanakan sebelumnya. Peserta musrenbang kecamatan ditambah
dengan perwakilan dari dinas-dinas di lingkungan pemda, LSM di wilayah tersebut
(kalau ada), dan tokoh masyarakat setempat. Dengan langsung mengundang dinasdinas
sektoral, diharapkan usulan program yang diajukan oleh dinas-dinas sektoral
dalam musrenbang kabupaten akan mengacu pada usulan-usulan kecamatan. Dalam
musrenbang kabupaten juga diundang beberapa unsur nonpemerintah, yaitu dari
LSM dan ormas yang dianggap relevan. Kegiatan musrenbang kecamatan dan
kabupaten ini baru dilaksanakan sekitar bulan Juli-Agustus karena keterlambatan
penetapan anggaran oleh DPRD, yang pelantikan anggotanya juga terlambat dan
mengalami kebuntuan dalam pemilihan ketua DPRD.
Di Kabupaten Bima, pendekatan partisipatoris dalam proses perencanaan
pembangunan mulai dirintis sejak 2001 dengan dukungan proyek Promis-NT. Secara
formal, proses perencanaan partisipatoris tersebut telah dituangkan dalam Surat
Keputusan Bupati No. 237/2002. Setelah Pemerintah Pusat menetapkan UU No. 25
Tahun 2004, Pemda Kabupaten Bima memperbaharui peraturan tersebut dalam
bentuk Perda No. 5 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Bima.
Dengan adanya peraturan daerah tersebut, pelaksanaan musrenbang di Kabupaten Bima
dimulai dari tingkat dusun/desa. Pada awalnya proses ini dilaksanakan secara intensif di
Kecamatan Ambalawi dan Kecamatan Wera yang menjadi lokasi pilot proyek Promis-
NT. Saat ini, proses tersebut telah dilaksanakan di semua desa dan kecamatan.
Berdasarkan hasil musrenbang di tingkat desa, usulan program dibawa ke musrenbang
tingkat kecamatan dan selanjutnya ke musrenbang tingkat kabupaten. Dari rangkaian
musrenbang ini disusun dokumen Rencana Pemerintah Tingkat Desa (RPTD), Rencana
Pemerintah Tingkat Kecamatan, dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD). Keseluruhan proses perencanaan tersebut, sudah mulai dilaksanakan secara
partisipatoris dengan melibatkan berbagai unsur nonpemerintah. Melalui proses
perencanaan pembangunan tersebut, saat ini Kabupaten Bima telah menyelesaikan
Lembaga Penelitian SMERU, 50 Desember 2006
dokumen RPJMD tahun 2006-2010 yang dikukuhkan melalui Perda No. 8 Tahun 2005,
serta dokumen RPJPD tahun 2006-2025 yang dikukuhkan melalui Perda No. 7 Tahun
2005. Ikhtisar mekanisme perencanaan Kabupaten Bima yang mencakup proses
penyusunan RPJM dan RKPD disajikan pada Gambar 9 di bawah ini.
Selain adanya dukungan dari Promis-NT, perkembangan proses perencanaan di
Kabupaten Bima yang relatif lebih partisipatoris dibanding dengan Kabupaten
Tapanuli Tengah, tidak terlepas dari kehadiran dan dukungan berbagai LSM,
lembaga-lembaga internasional, perguruan tinggi, dan media pers (media TV/koran
lokal). Unsur-unsur nonpemerintah tersebut telah berpartisipasi di berbagai bidang,
di antaranya dalam kegiatan advokasi dan dukungan kegiatan di tingkat akar rumput,
termasuk pendampingan kelompok masyarakat miskin. Diciptakannya forum
musbang yang bersifat partisipatoris, yang kemudian diubah menjadi musrenbang,
telah memberi ruang bagi partisipasi yang lebih intensif bagi unsur-unsur
nonpemerintah tersebut dalam proses penyusunan rencana pembangunan daerah.
Sistem perencanaan partisipatoris yang dikembangkan di Kabupaten Bima telah
memberikan ruang partisipasi yang cukup luas bagi para pemangku kepentingan di tingkat
kecamatan dan kabupaten. Namun, pelaksanaan musrenbang di tingkat dusun dan desa
belum memberi ruang yang cukup bagi partisipasi seluruh masyarakat, khususnya
masyarakat miskin. Musrenbang di tingkat desa yang ditujukan untuk menentukan usulan
yang akan diajukan ke musrenbang kecamatan cenderung masih didominasi oleh elit desa
karena hanya dihadiri oleh perwakilan dusun, perangkat desa, dan tokoh-tokoh
masyarakat. Format kepesertaan dalam musyawarah tersebut tidak menjamin bahwa
kebutuhan dan aspirasi masyarakat miskin akan terakomodasi secara memadai karena
persoalan atau isu yang dianggap penting bagi masyarakat miskin belum tentu dianggap
penting oleh para elit desa yang menjadi peserta murenbang dusun dan desa.
Terlepas dari perbedaan pelaksanaan proses perencanaan di Kabupaten Bima dan
Kabupaten Tapanuli Tengah, keduanya menghadapi persoalan yang sama berkaitan
dengan kesinambungan antarhasil perencanaan di berbagai tingkatan, dan antara hasil
proses perencanaan dan realita anggaran yang disusun. Dari usulan rencana
pembangunan tingkat desa/kecamatan yang telah disusun, hanya sedikit yang bisa
ditampung di rencana pembangunan kabupaten, dan lebih sedikit lagi yang mampu
dibiayai oleh APBD. Dalam proses penyusunan rencana pembangunan di tingkat
kabupaten, masih ada tarik-menarik antara usulan kecamatan (masyarakat) dan usulan
dinas (sektoral), dan pada akhirnya usulan dinas cenderung lebih diterima.
Selanjutnya, pada tahap pengganggaran, Pemerintah Kabupaten Bima dan Tapanuli
Tengah dengan kapasitas fiskal yang tergolong rendah, memiliki kemampuan yang
terbatas untuk membiayai program-program dari APBD. Oleh karena itu, programprogram
penanggulangan kemiskinan yang berjalan di kedua kabupaten ini sebagian
besar bersumber dari dana APBN, yaitu dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Selain itu, di Kabupaten Bima juga banyak program yang dibiayai oleh bantuan dari
negara-negara donor dan dari LSM Internasional. Walaupun ada berbagai sumber
pendanaan, kecilnya usulan masyarakat yang mendapat alokasi anggaran dari APBD,
APBN, dan sumber-sumber lain, sangat membahayakan keberlanjutan upaya
perencanaan partisipatoris yang dikembangkan di Kabupaten Bima karena masyarakat
cenderung menjadi agak apatis dalam mengikuti musyawarah di tingkat dusun dan desa.
Lembaga Penelitian SMERU, 51 Desember 2006
Gambar 9. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bima
Hasil Musrenbang
Jangka Panjang Daerah
Rancangan Awal
RPJP Daerah
Rancangan Akhir
RPJP Daerah
Rancangan Awal
RPJM Daerah
Rancangan Rencana Kerja
Pembangunan Jangka
Menengah Daerah
Hasil Musrenbang
Jangka Menengah Daerah
Rancangan Akhir
RPKM Daerah
Rancangan Awal
RKPD
Rancangan RKPD
Hasil Musrenbang
Penyusunan RKPD
Rancangan Akhir
RKPD
RPJP DAERAH
RPJM DAERAH PENYUSUNAN RKPD
RENSTRA - SKPD
pedoman
RPJM Nasional
RKP
acuan
pedoman RENJA - SKPD
Rancangan
RENSTRA - SKPD
KUA
RAPBD
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Lembaga Penelitian SMERU, 52 Desember 2006
5.2. Potensi dan Kendala Pengintegrasian AKP dalam Proses Perencanaan
Kegiatan AKP, khususnya di tingkat desa, yang dilaksanakan bersama Tim AKP
Kabupaten pada dasarnya dimaksudkan untuk memperkenalkan model dan proses
diskusi partisipatoris dengan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Model diskusi
dirancang untuk secara khusus dapat melihat masalah kemiskinan dari sudut pandang
masyarakat miskin, dan juga masyarakat yang tidak miskin sebagai pembanding.
Melalui rangkaian kegiatan diskusi, wawancara, dan pengamatan langsung yang
dilaksanakan dalam kegiatan AKP tersebut diharapkan akan muncul kesadaran
tentang pentingnya mengembangkan upaya-upaya khusus untuk mencoba memahami
persoalan dari sudut pandang masyarakat miskin sebagai subyek program
penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan pengakuan yang dikemukakan anggota
Tim AKP Kabupaten, khususnya yang secara intensif mengikuti kegiatan pelatihan
dan praktik AKP di tingkat desa, tampak bahwa tujuan tersebut sedikit banyak telah
tercapai. Anggota Tim AKP Kabupaten, baik yang berasal dari lingkungan pemda
maupun dari lembaga nonpemerintah, telah mampu melihat berbagai aspek positif
dari proses maupun alat-alat bantu yang digunakan dalam kegiatan AKP tersebut
yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Di samping itu, mereka juga
mampu mengidentifikasi beberapa kendala dalam penerapan AKP dalam kegiatan
perencanaan yang mereka laksanakan.
Secara umum, anggota Tim AKP Kabupaten memandang bahwa berbagai alat bantu
yang digunakan dalam diskusi-diskusi dengan masyarakat sangat membantu dalam
menggali pandangan masyarakat dan mendorong peserta diskusi untuk
mengungkapkan pendapat mereka. Oleh karena itu, pengalaman dalam AKP ini
telah memberikan inspirasi dalam mengembangkan proses perencanaan yang lebih
berpihak pada kaum miskin. Menurut anggota Tim AKP dari kalangan LSM yang
sering menggunakan metode partisipatoris, pendekatan yang digunakan dalam AKP
ini memiliki kelebihan dalam mendalami pemahaman akan faktor-faktor yang
memengaruhi kondisi dan permasalahan kemiskinan dari sudut pandang masyarakat.
Bagi anggota Tim AKP dari lingkungan pemda, hasil diskusi dengan masyarakat,
dengan menggunakan alat-alat bantu ini, telah meruntuhkan pendapat bahwa
masyarakat, khususnya masyarakat miskin, tidak bisa atau sangat sulit
mengungkapkan pendapat sehingga tidak perlu dilibatkan dalam diskusi di tingkat
dusun/desa.
Pengalaman yang diperoleh selama AKP di desa ternyata telah mampu
memperlihatkan cara agar masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dapat
mengungkapkan pendapat dan harapan mereka. Dari hasil diskusi tersebut juga
terlihat perbedaan-perbedaan pandangan antara kelompok miskin dan kelompok
tidak miskin, mengenai prioritas permasalahan yang mereka hadapi. Selain itu, proses
AKP dianggap dapat mendorong kesadaran masyarakat akan kondisi yang mereka
hadapi dan potensi yang mereka miliki guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dengan demikian, Tim AKP dapat melihat bahwa proses AKP membuka kesempatan
masyarakat luas, terutama kelompok miskin, baik laki-laki maupun perempuan,
untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses perencanaan, monitoring, maupun
evaluasi kegiatan dan program pembangunan.
Lembaga Penelitian SMERU, 53 Desember 2006
Meskipun secara umum anggota Tim AKP Kabupaten melihat berbagai manfaat dari
penggunaan alat-alat bantu dalam diskusi yang dilaksanakan dalam kajian ini,
mereka juga melihat beberapa kendala dalam pemanfaatannya bagi kepentingan
perencanaan yang akan mereka laksanakan. Di antara kendala yang mereka
kemukakan adalah berkaitan dengan banyak dan rumitnya jenis diskusi kelompok
(FGD) yang dilaksanakan, dan kemampuan fasilitator dalam menggunakan alat
bantu dan melakukan pendalaman isu. Dalam kegiatan AKP di desa, dilaksanakan
lebih dari 10 jenis FGD dengan tujuan menggali berbagai aspek kondisi kemiskinan
di masyarakat. Jumlah FGD tersebut dianggap terlalu banyak dan jika tujuan serta isu
yang dianggap perlu digali telah ditetapkan, tidak semua jenis FGD perlu dilakukan.
Dengan demikian, jenis FGD dan alat bantu yang digunakan dapat dipilih dan
dibatasi jumlahnya sesuai dengan isu yang ingin didiskusikan dan tujuan utama dari
kegiatan diskusi dengan masyarakat. Dalam hal kemampuan fasilitator, disadari
bahwa penguasaan alat masih belum memadai sehingga fasilitator masih sangat
terpaku pada prosedur atau proses diskusi secara kaku. Akibatnya mereka kurang
mampu melakukan adaptasi sesuai dengan perkembangan jalannya diskusi, hal yang
diperlukan agar isu yang dikehendaki bisa tergali dengan baik. Untuk mengatasi
kendala ini, kebanyakan anggota Tim AKP Kabupaten merasa bahwa praktik
lapangan yang dilakukan dalam pelatihan perlu ditambah. Bahkan AKP yang
dilakukan di tiga desa terpilih dalam kajian ini dianggap selayaknya masih menjadi
bagian dari kegiatan pelatihan.
Berdasarkan pengalaman yang dirasakan selama mengikuti pelatihan dan
pelaksanaan AKP dalam kajian ini, anggota Tim AKP yang terlibat dalam proses
perencanaan pembangunan daerah mengidentifikasi potensi pengintegrasian AKP
dalam proses perencanaan pembangunan yang sudah berjalan. Secara umum, anggota
Tim AKP dari lingkungan Bappeda memandang bahwa metode AKP sejalan dengan
pendekatan partisipatoris yang disebutkan dalam UU No. 25 tahun 2004.
Pendekatan yang dilakukan dalam AKP akan berguna dalam mengoptimalkan
partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat miskin perempuan dan laki-laki.
Khusus di Kabupaten Bima, metode AKP dipandang dapat diintegrasikan dalam
penyempurnaan Perda No. 5 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan
Perencanaan Pembangunan Daerah, khususnya agar proses partisipatorisnya dapat
lebih menjamin partisipasi masyarakat miskin. Dengan demikian, secara umum AKP
dapat diintegrasikan dalam proses penyusunan berbagai dokumen perencanaan
pembangunan daerah, baik RPJP, RPJM, RKPD, maupun Renja-SKPD.
Skema pengintegrasian AKP dalam penyusunan dokumen rencana pembangunan,
yang diusulkan oleh Bappeda Kabupaten Bima disajikan pada Gambar 10. Diagram
tersebut memperlihatkan bahwa AKP dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kebutuhan masyarakat dan hasil analisisnya dapat digunakan untuk menentukan isu
dan merumuskan kebijakan yang tepat dalam jangka panjang (RPJPD), jangka
menengah (RPJMD dan Renstra SKPD), serta rencana tahunan (RKPD dan Renja
SKPD). Kegiatan AKP juga dapat menjadi bagian dari proses monitoring dan
evaluasi yang mampu memantau tingkat kepuasan dan tingkat pemenuhan
kebutuhan masyarakat.
Lembaga Penelitian SMERU, 54 Desember 2006
Dalam kajian ini, Kabupaten Bima telah menggunakan hasil AKP sebagai masukan
bagi penyusunan RPJP dan RPJM. Pada saat kajian mulai dilakukan, Bappeda
Kabupaten Bima telah menyusun draf RPJP dan RPJM berdasarkan kajian terhadap
pencapaian pembangunan daerah yang lalu, masukan dari dinas-dinas terkait, dan
diskusi dengan para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten. Berdasarkan
diskusi dengan Bappeda, disepakati bahwa beberapa staf yang terlibat dalam
penyusunan RPJP dan RPJM akan berpartisipasi dalam kajian ini dan menjadi
anggota Tim AKP. Selain itu, hasil awal AKP akan segera diserahkan ke Bappeda
dan tim penyusun RPJM dan RPJP agar dapat dijadikan masukan bagi
penyempurnaan dokumen-dokumen tersebut. Dengan adanya kesepakatan tersebut,
maka hasil AKP dapat dijadikan salah satu masukan dalam finalisasi RPJP dan RPJM,
di samping masukan-masukan lainnya, khususnya bagi visi, misi, dan program yang
dijanjikan Bupati terpilih dalam kampanye pemilihan Bupati.
Gambar 10. Integrasi Hasil AKP dalam Penyusunan Dokumen
Rencana Pembangunan (Usulan dari Kabupaten Bima)
Dalam kaitan dengan penyempurnaan proses musrenbang di tingkat dusun/desa, baik
Bappeda Kabupaten Tapanuli Tengah, Bappeda Kabupaten Bima, maupun Promis-
NT melihat bahwa AKP sangat potensial untuk menjadi bagian dari penjaringan
informasi dan pelaksanaan musyawarah perencanaan (musrenbang) pada tingkat
desa/kelurahan. AKP akan meningkatkan keberpihakan kepada masyarakat miskin
pada pembahasan musrenbang kecamatan dan musrenbang kabupaten. Oleh karena
itu, AKP dapat diintegrasikan dalam sistem perencanaan pembangunan tahunan dan
hasil AKP dapat menjadi masukan bagi penyusunan recana kerja (renja) dinas-dinas,
renja satuan kerja perangkat daerah (SKPD), serta penyusunan rencana kerja pemda
(RKPD). Pengintegrasian AKP dalam proses perencanaan tahunan yang diusulkan
oleh Tim AKP Kabupaten Tapanuli Tengah disajikan pada Gambar 11 di bawah ini.
Identifikasi kebutuhan masyarakat
(dapat dilakukan dengan metode AKP)
A. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG (RPJP)
B. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH (RPJM)
C. RENCANA STRATEGIS SATUAN KERJA PERANGKAT
DAERAH (RENSTRA SKPD)
D. RENCANA JANGKA PENDEK (RENCANA TAHUNAN)
Kepuasan masyarakat/pemenuhan kebutuhan masyarakat:
Usulan perencanaan pembangunan jangka pendek masuk dalam APBD/ APBDs
Dapat berpartisipasi langsung dalam proses pembangunan
Hasil sesuai dengan yang dibutuhkan/diharapkan
MONITORING
EVALUASI
Lembaga Penelitian SMERU, 55 Desember 2006
Gambar 11. Pengintegrasian AKP dalam Proses Perencanaan Pembangunan
(Usulan dari Kabupaten Tapanuli Tengah)
Meskipun secara teknis Bappeda dan para pemangku kepentingan lain di Kabupaten
Tapanuli Tengah dan Kabupaten Bima memandang bahwa AKP dapat diintegrasikan
dalam proses perencanaan pembangunan daerah, secara praktis ada beberapa
tantangan yang dihadapi. Di antara tantangan yang diidentifikasi adalah berkaitan
dengan: (i) upaya dalam menjaga konsistensi dalam melihat persoalan kemiskinan
yang dikemukakan di tingkat dusun/desa dengan pembahasan di tingkat kecamatan
dan kabupaten serta dalam penganggaran, (ii) keterwakilan lokasi kajian AKP
dengan fenomena kemiskinan di lingkup kabupaten, dan (iii) kebutuhan biaya
operasional dan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan AKP.
Persoalan konsistensi antartingkatan musrenbang dan antara hasil musrenbang
dengan penganggaran merupakan persoalan struktural yang paling besar. Untuk
mengatasi persoalan ini diperlukan komitmen berbagai pihak untuk mengawal proses
perencanaan, serta pemahaman, keterlibatan, dan komitmen jajaran pimpinan
daerah dan anggota DPRD. Berkaitan dengan masalah keterwakilan daerah lokasi
AKP dalam merepresentasikan kondisi kemiskinan kabupaten, baik Kabupaten Bima
maupun Kabupaten Tapanuli Tengah telah menyatakan komitmen untuk melakukan
AKP di beberapa desa lain pada tahun anggaran 2006. Namun, dalam rangka
perencanaan tahunan, ada juga usulan untuk melakukan AKP di semua desa dalam
skala yang lebih kecil, yaitu dengan membatasi jenis FGD yang dianggap paling
diperlukan. Dalam kaitan dengan usulan ini, dibutuhkan pelatihan bagi petugas di
kecamatan yang akan diberi tanggungjawab untuk mendampingi atau melaksanakan
AKP di tingkat desa. Dengan cara ini, diharapkan biaya operasional juga dapat
diminimalkan. Adapun berkaitan dengan masalah biaya dan waktu untuk
pelaksanaan AKP, dibutuhkan dukungan dan komitmen jajaran pimpinan daerah,
Bappeda, dan semua dinas-dinas sektoral karena hasil AKP juga dapat digunakan
sebagai masukan bagi berbagai sektor.
Musrenbang
Kab/ Kota
Musrenbang
Kecamatan
Musrenbang
Desa/K elurahan
Penyusunan
RKPD Kabupaten/Kota
Penyusunan Renja
SKPD Kabupaten/Kota
Pasca Musrenbang
Kab/ Kota RKPD
Forum SKPD
Kabupaten/Kota
Renja
SKPD
Diskusi Terfokus( Focus Group Discussion)
AKP
Renja Desa/ K el.
Forum SKPD
Desa / Kel .
-Musrenbang
Terarah (Focused Group Discussion)
Lembaga Penelitian SMERU, 56 Desember 2006
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kajian ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah
kabupaten dalam membuat perencanaan pembangunan yang lebih berpihak kepada
masyarakat miskin dengan cara memperkenalkan metode AKP di dua kabupaten,
yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Meskipun kedua kabupaten
yang menjadi lokasi kajian ini mempunyai tingkat kemiskinan yang tinggi, keduanya
memiliki iklim dan sumber daya alam, serta kondisi sosial dan politik yang berbeda.
Keduanya juga memiliki perbedaan dalam pengembangan dan pelaksanaan proses
perencanaan, serta perbedaan dalam keberadaan dan aktivitas lembaga-lembaga
nonpemerintah dan lembaga donor. Meskipun perbedaan-perbedaan tersebut tidak
mewakili variasi kondisi kabupaten/kota di seluruh Indonesia, berbagai perbedaan
tersebut memperlihatkan potensi variasi antarkabupaten, dan telah memperkaya hasil
kajian ini. Hasil kajian ini mendukung anggapan umum bahwa upaya yang
dijalankan untuk mengurangi kemiskinan maupun untuk meningkatkan kapasitas
pemda dalam mengurangi kemiskinan tidak bisa disamakan antarkabupaten. Upayaupaya
tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi lokal.
Uraian berikut adalah beberapa kesimpulan dan saran umum yang dapat dirumuskan
berdasarkan hasil kajian ini.
6.1. Kondisi Kemiskinan dan Alternatif Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Kegiatan AKP dan diskusi-diskusi lanjutan di tingkat kabupaten telah
mengungkapkan beberapa masalah yang saling terkait yang memengaruhi kondisi
kemiskinan di kedua kabupaten studi. Di Kabupaten Bima, data kuantitatif dari BPS
memperlihatkan kecenderungan penurunan kemiskinan. Walaupun demikian, hasil
AKP di tiga desa memperlihatkan bahwa kemiskinan cenderung meningkat di
kalangan petani padi yang produktivitasnya cenderung terus menurun karena
menurunnya pasokan air, peternak sapi yang masih menggunakan teknologi
sederhana, nelayan tradisional, dan petambak udang yang tambaknya terlantar.
Sebaliknya, peningkatan kesejahteraan yang juga berarti penurunan kemiskinan
terjadi di kalangan petani dan peternak yang telah melakukan diversifikasi dan
meningkatkan cara bercocok tanam atau meningkatkan manajemen dan teknologi
pemeliharaan ternaknya. Namun, perlu dicatat bahwa AKP yang telah dilakukan
belum mencakup komunitas di daerah dekat perkotaan (semiurban) sehingga
dinamika kemiskinan di komunitas ini belum diketahui.
Di Kabupaten Tapanuli Tengah, data kuantitatif memperlihatkan kecenderungan
peningkatan kemiskinan. Walaupun demikian, hasil AKP mengidentifikasi
kecenderungan peningkatan kesejahteraan di kalangan petani yang telah mulai
melakukan diversifikasi usaha pertaniannya dengan menanam komoditas perkebunan
baru, khususnya kelapa sawit, coklat, dan buah-buahan. Selain itu, masyarakat di
sekitar daerah perkotaan yang tingkat pendidikannya relatif tinggi juga cenderung
meningkat kesejahteraannya. Sebaliknya, kesejahteraan petani padi dan nelayan,
yang proporsinya cukup besar di Kabupaten Tapanuli Tengah ini, cenderung
menurun. Hal inilah yang mungkin meningkatan kemiskinan. Selain itu, berdasarkan
Lembaga Penelitian SMERU, 57 Desember 2006
hasil diskusi dengan para pemangku kepentingan juga muncul isu tentang migrasi
dari kabupaten sekitarnya, terutama dari Nias, yang kemungkinan juga meningkatkan
kemiskinan. Namun, daerah pusat produksi padi dan sentra nelayan, serta daerah
dengan banyak migran dari daerah lain belum dicakup dalam kegiatan AKP ini.
Meskipun permasalahan kemiskinan bervariasi antarkomunitas dan antardesa,
analisis hasil AKP mengenali beberapa masalah utama yang saling terkait, yang
memengaruhi kemiskinan di masing-masing kabupaten. Di Kabupaten Bima, hasil
analisis mengarah ke permasalahan yang berkaitan dengan: kerusakan lingkungan
khususnya di hutan dan daerah terjal dengan sudut kemiringan tinggi; produksi dan
kerentanan usahatani dalam pengertian luas, termasuk peternakan dan perikanan;
terbatasnya kesempatan kerja; rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan; tidak
terjangkaunya pelayanan keluarga berencana; dan kurangnya akses ke lembaga
ekonomi dan keuangan. Di Kabupaten Tapanuli Tengah, hasil analisis menemukan
isu-isu yang berkaitan dengan: penurunan produksi tanaman pangan (khususnya
padi) dan hasil tangkapan nelayan; rendahnya tingkat pendidikan di kalangan
keluarga miskin; kerusakan infrastruktur jalan, jembatan dan jaringan irigasi;
kerusakan lingkungan daerah aliran sungai dan laut; dan tidak terjangkaunya layanan
keluarga berencana. Meskipun sifat permasalahan kemiskinan di kedua kabupaten
tersebut agak berbeda, secara umum keduanya memiliki kesamaan permasalahan
berkaitan dengan kerusakan lingkungan, kurangnya pendidikan, dan keterampilan,
kurangnya kesempatan kerja dan usaha, dan kurangnya askes terhadap modal, serta
terbatasnya keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan berbagai program dan proyek.
Mengenai kondisi infrastruktur, masyarakat di beberapa daerah merasakan perbaikan
infrastruktur dan komunikasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan mereka.
Walaupun demikian, pemeliharaan infrastruktur masih menjadi masalah di banyak
lokasi. Hasil AKP menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur bersama dengan
pengenalan komoditas yang mempunyai harga lebih tinggi akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Peningkatannya cenderung lebih besar dibandingkan
pembangunan infrastruktur saja. Di samping itu, banyak upaya nonfisik, seperti
penegakan hukum dan peraturan, serta pelatihan, penyuluhan, dan pendampingan
yang tampaknya memiliki peranan penting dalam mengurangi kemiskinan. Karena
adanya keterkaitan antarberbagai permasalahan, dibutuhkan upaya yang
komprehensif untuk mengatasi kemiskinan dan melindungi dari kerentanan. Jika
upaya penurunan kemiskinan akan difokuskan dalam bentuk pembangunan
infrastruktur, sangat penting untuk memperhitungkan berbagai faktor, termasuk
keterlibatan masyarakat mulai dari tahap perencanaan sampai tahap
pascapembangunan dan perawatan, dan kondisi lingkungan yang akan memengaruhi
konstruksi. Selain itu, perlu disadari adanya keterbatasan pembangunan infrastruktur
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin jika tidak dibarengi dengan
upaya pendukung lain yang mampu membuka kesempatan untuk berusaha atau
kesempatan kerja bagi mereka.
Lebih penting lagi, dibutuhkan perubahan orientasi pelayanan publik ke arah
masyarakat berpenghasilan terendah karena hasil AKP ini memperlihatkan
fenomena terabaikannya pemberian pelayanan bagi kelompok miskin.
Lembaga Penelitian SMERU, 58 Desember 2006
6.2. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan
Kajian ini menemukan bahwa minat dan kapasitas kedua pemerintah kabupaten
dalam menanggulangi kemiskinan berbeda. Kabupaten Bima menaruh perhatian yang
lebih besar terhadap permasalahan kemiskinan dibandingkan Kabupaten Tapanuli
Tengah. Hal ini tercermin dari aktivitas KPKD dan adanya berbagai kegiatan yang
mendukung upaya penanggulangan kemiskinan. Keberadaan dan aktivitas berbagai
lembaga nonpemerintah dan lembaga donor dipadukan dengan masalah kemiskinan
yang menahun tampaknya memengaruhi besarnya perhatian dan kemajuan dalam
upaya penanggulangan kemiskinan. Namun, secara umum pengetahuan dan
pemahaman mengenai kemiskinan di antara para pemangku kepentingan di tingkat
lokal masih terbatas, meskipun berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah
dilaksanakan. Dalam draf strategi penanggulangan kemiskinan daerah (SPKD) yang
telah disusun Kabupaten Bima, diagnosa kemiskinan belum menyajikan analisis
kemiskinan secara multidimensi dan belum menjabarkan masalah-masalah yang
memengaruhi kemiskinan di kabupaten tersebut. Hal ini berimplikasi pada
penyusunan rencana program yang kurang terfokus pada kemiskinan.
Berdasarkan kajian ini, dapat dirumuskan beberapa rekomendasi berkaitan dengan
peningkatan kapasitas pemda dalam penanggulangan kemiskinan:
• Pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten
memerlukan bimbingan teknis dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman mengenai kompleksitas dan sifat multidimensi kemiskinan. AKP
dapat menjadi sarana untuk peningkatan pemahaman itu.
• Pendampingan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat karena harus, secara
berturut-turut, meningkatkan pemahaman mengenai kemiskinan, memberikan
keterampilan yang diperlukan untuk mampu melibatkan masyarakat miskin dalam
analisis kemiskinan, dan kemampuan analisis untuk mengarusutamakan
kemiskinan. Peningkatan kemampuan analisis tampaknya membutuhkan upaya
khusus, meskipun diskusi intensif dengan dinas-dinas dan lembaga
nonpemerintah terkait yang telah dilakukan dalam kajian ini tampaknya cukup
efektif dalam menstimulasi kemampuan analisis. Untuk memberikan pengaruh
yang nyata, dibutuhkan pendampingan dalam waktu yang lebih lama.
• Pengembangan proses partisipatoris penting bagi proses AKP. Namun proses yang
partisipatoris tidak selalu menjamin adanya ruang bagi partisipasi masyarakat
miskin dan juga tidak menjamin bahwa perhatian akan diarahkan pada
kemiskinan. Dengan demikian, penting untuk menjamin bahwa proses
partisipatoris yang dibangun memang dirancang untuk menjamin keterlibatan
masyarakat miskin.
• Bentuk bantuan harus berbeda-beda tergantung kemajuan kabupaten (pemda dan
para pemangku kepentingan lainnya) dalam berbagai aspek, termasuk:
perkembangan masyarakat sipil, perkembangan proses perencanaan partisipatoris,
dan tingkat keterarahan dan perhatian terhadap kemiskinan. Untuk daerahdaerah
yang telah mengembangkan proses perencanaan yang inklusif, bantuan
dapat diarahkan pada pengarusutamaan kemiskinan melalui proses AKP. Untuk
daerah yang belum mengembangkan proses yang partisipatoris, pengarusutamaan
Lembaga Penelitian SMERU, 59 Desember 2006
kemiskinan melalui proses AKP perlu didukung dengan pengembangan proses
yang partisipatoris dan inklusif.
• Bentuk dan cara memberikan penguatan kapasitas kepada pemerintah kabupaten
juga harus mempertimbangkan kondisi politik di kabupaten yang bersangkutan,
termasuk netralitas pegawai pemda, ketegangan politik, tingkat intervensi politik
terhadap jalannya pemerintahan, dan proses politik yang mungkin memengaruhi
upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa
bantuan tidak boleh diberikan ke daerah yang kondisi politiknya tidak
mendukung. AKP di daerah seperti ini berpotensi untuk meningkatkan perhatian
para pemangku kepentingan terhadap kemiskinan, walaupun upaya akan lebih
sulit dan memakan waktu lebih lama.
6.3. Pengintegrasian AKP dalam Proses Perencanaan Pembangunan Kabupaten
Kedua kabupaten studi melakukan proses perencanaan pembangunan yang agak
berbeda. Pengamatan yang dilakukan selama pelaksanaan kajian ini memperlihatkan
bahwa perbedaan tersebut, antara lain dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat
sipil, pengenalan pendekatan partisipatoris dalam proses perencanaan, dan kondisi
politik daerah. Meskipun demikian, Tim AKP Kabupaten di kedua kabupaten
melihat adanya potensi untuk mengintegrasikan AKP dalam proses perencanaan
pembangunan yang sudah berjalan, baik untuk perencanaan jangka
panjang/menengah maupun untuk perencanaan tahunan. Kabupaten Bima telah
memanfaatkan hasil-hasil AKP sebagai masukan dalam finalisasi RPJP dan RPJM.
Kabupaten ini juga berencana untuk meningkatkan mekanisme musrenbang tingkat
desa dengan memasukkan metode-metode AKP. Kabupaten Tapanuli Tengah juga
mengusulkan digunakannya AKP dalam musrenbang tingkat desa. Pengintegrasian
AKP yang diusulkan oleh Tim AKP Kabupaten Bima dan Kabupaten Tapanuli
Tengah tersebut dapat dijadikan alternatif model untuk menyempurnakan sistem
perencanaan di daerah. Walaupun demikian, ada beberapa tantangan dalam
pengintegrasian ini, yaitu: menjamin konsistensi antara cara pandang terhadap
kemiskinan yang diajukan masyarakat di dalam musyawarah di tingkat desa/dusun
dengan musyawarah di tingkat kecamatan dan musrenbang kabupaten serta dalam
penganggaran; tingkat keterwakilan lokasi AKP dalam menangkap fenomena
kemiskinan di tingkat kabupaten; dan kebutuhan biaya operasional dan waktu untuk
melaksanakan AKP. Untuk mengatasi tantangan tersebut dibutuhkan dukungan dan
komitmen pemerintah kabupaten dan DPRD.
Lembaga Penelitian SMERU, 60 Desember 2006
LAMPIRAN
Lembaga Penelitian SMERU, 61 Desember 2006
LAMPIRAN 1.
Berbagai Inisiatif yang Dilakukan Lembaga-lembaga Lain
P2TPD (Prakarsa Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah):
P2TPD adalah sebuah program bantuan yang ditujukan bagi pemda,
khususnya pemerintah kabupaten. Program ini terdiri dari tiga komponen,
yaitu AKP (Analisis Kemiskinan Partisipatoris), reformasi kebijakan dan
peraturan yang terkait dengan tata kelola pemerintahan, dan investasi dana
bagi program penanggulangan kemiskinan. Terdapat 15 kabupaten yang
masih tergabung dalam program ini, yaitu: Tanah Datar, Solok, Lebak,
Bandung, Majalengka, Kebumen, Bantul, Magelang, Ngawi, Lamongan, Goa,
Bulukumba, Takalar, Boa Lemo, dan Bolaang Mongondow. P2TPD
membantu pembentukan forum pemangku kepentingan yang akan
melaksanakan AKP serta mengembangkan strategi rencana aksi pengentasan
kemiskinan. Beberapa program pengentasan kemiskinan tersebut akan didanai
oleh pinjaman atau hibah dari Bank Dunia. Proses AKP sendiri telah dimulai
sejak 2003 dan ke-15 kabupaten yang turut berpartisipasi tersebut saat ini
telah menyelesaikan dokumen strategis (strategy paper). Salah satu masalah
utama yang dihadapi dalam pelaksanaan AKP dan dalam pembuatan
dokumen strategis adalah kesulitan dalam menganalisis dan menggabungkan
data kualitatif dari komunitas dengan data makro (data kuantitatif) dan dalam
memperluas jangkauan temuan PPA untuk formulasi strategi penanggulangan
kemiskinan.
URDI:
URDI, bekerja sama dengan TUGI-UNDP dan Bank Dunia, memberikan
pendampingan kepada Kota Bandar Lampung untuk melaksanakan PPM
(Participatory Poverty Mapping) di tiga kecamatan pada 2003.6 Tujuan dari
PPM ini adalah untuk mengidentifikasi keluarga miskin serta kondisinya
melalui proses yang melibatkan semua anggota masyarakat secara aktif. Pemda
menerapkan PPM ini dengan bantuan URDI. Selain itu, URDI dan ADB
(Asian Development Bank) bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bandar
Lampung juga menginisiasi Perencanaan Program Partisipatif Pengentasan
Kemiskinan (P4K). Hasil PPM yang diperoleh melalui proses perencanaan
partisipatoris yang meliputi identifikasi keluarga miskin, pemetaan indikator
sosial-ekonomi, termasuk kondisi infrastruktur, dan daftar kebutuhan
masyarakat, akan menjadi masukan bagi program pemerintah. Namun, hasil
tersebut tidak secara langsung menjadi masukan bagi Strategi Pembangunan
Kota (City Development Strategy–CDS) yang telah menjadi bagian dari
Rencana Strategis Kota (City Strategic Plan) sebelum PPM ini dimulai.
CESS:
CESS bekerja sama dengan ODI-DFID telah mengembangkan alat bantu
AKP bagi pengarusutamaan kemiskinan untuk kegiatan MFP (Multistakeholders
Forestry Program) serta melaksanakan pelatihan bagi MFP di
Papua dan Sulawesi Selatan. MFP terdiri dari pemerintah lokal, LSM yang
6Ketiganya adalah kecamatan-kecamatan termiskin. Pemerintah Kota Bandar Lampung saat ini telah
melanjutkan inisiatif ini di tiga kecamatan miskin lainnya.
Lembaga Penelitian SMERU, 62 Desember 2006
tertarik dan berfokus pada sektor kehutanan, dan Departemen Kehutanan.
Pelatihan ini (empat hari di kelas dan tiga hari untuk uji coba)
diselenggarakan pada akhir 2004, tetapi implementasi AKP oleh MFP belum
dilaksanakan. CESS sendiri tidak akan terlibat dalam implementasi serta
analisis hasil AKP ini.
UNDP:
UNDP bekerja sama dengan Kantor Menko Kesra melalui bantuan teknis
untuk mendukung pembuatan SPKD dan pelaksanaan Millenium Development
Goals, menyediakan dukugan bagi lima pemerintah provinsi di daerah
pascakonflik (Aceh, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua).
Program ini melibatkan tiga fasilitator untuk setiap provinsi dan telah
menyelenggarakan training selama tujuh hari pada Maret 2005. Materi
pelatihan meliputi proses pembuatan dokumen SPK dan Millenium
Development Goals, serta keterampilan berkomunikasi dengan pelatih yang
berasal dari P2TPD, Bina Swadaya, GTZ, Departemen Dalam Negeri dan
departemen terkait lainnya. Para fasilitator ini nantinya diharapkan dapat
memberikan dukungan pada proses penyusunan dokumen SPKD. Namun,
sampai saat ini belum jelas kapan dan bagaimana AKP akan
diimplementasikan.
Lembaga Penelitian SMERU, 63 Desember 2006
LAMPIRAN 2.
Daftar Lembaga yang Dikunjungi pada Kunjungan Awal Kajian di Kabupaten
Tapanuli Tengah dan Kabupaten Bima
Kabupaten Tapanuli Tengah Kabupaten Bima
1. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda)
2. Badan Pemberdayaan Masyarakat
(BPM) – Ketua Pelaksana KPK
3. Sekretaris II – Bidang Pembangunan
4. Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten
Tapanuli Tengah
5. Dinas Pendidikan
6. Dinas Kesehatan
7. Dinas Keluarga Berencana,
Kependudukan dan Catatan Sipil
8. Dinas Kelautan dan Perikanan
9. Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan
10. Dinas Kehutanan dan Perkebunan
11. Dinas Perdagangan, Koperasi, dan
Investasi
12. Dinas Jalan, Jembatan, dan Irigasi
13. Dinas Permukiman dan Pengembangan
Wilayah (Kimbangwil)
1. Sekretaris Daerah
2. Bappeda
3. Badan Pemberdayaan Masyarakat
4. Dinas Kesehatan
5. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
6. Dinas Perikanan dan Kelautan
7. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
8. Badan Pusat Statistik
9. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
10. DPRD
11. Dinas Koperasi dan UMKM
12. Dinas Sosial
1. LSM LP3TN
1. Human Integrity Study and
Development Institute (HISDI)
2. Konsorsium Pengawalan Pelayanan
Publik (KAWAL)
3. Bima Ekspres (Pers)
4. Komite Nasional Pemuda
Indonesia/Forum Perempuan
5. Promis NT - GTZ
6. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP)
7. Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (STISIP)
Lembaga Penelitian SMERU, 64 Desember 2006
LAMPIRAN 3.
Daftar Peserta ”Pembelajaran Bersama tentang AKP” di Kabupaten Bima dan
Kabupaten Tapanuli Tengah
Nama P/L Institusi
Kabupaten Bima
1. Fathiyah P Pemerintah Daerah–Badan Pembangunan
Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan
(BPMPP)
2. Fauzia Tiaida P LSM–KAWAL
3. Irwan L LSM–Human Integrity Study and Development
Institute (HISDI)
4. Kholidi L Pemerintah Daerah–Dinas Kelautan dan
Perikanan
5. Lalu Suryadi L Pemerintah Daerah–Bappeda
6. Mahman L PROMIS-NT, GTZ
7. Muhammad Natsir L Pemerintah Daerah–Bappeda
8. Mukhlis Ishaka L Universitas– Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu
Pemerintahan (STISIP)
9. Nurfarhati P LSM– Komite Nasional Pemuda Indonesia/Forum
Perempuan
10. Ruslan H. Ibrahim L Pemerintah Daerah– Dinas Pendidikan
11. Sri Wiryana P Media Lokal (Koran)–Bima Express
12. Tita Masithah P Pemerintah Daerah–Dinas Kesehatan
13. Zuraiti P PROMIS-NT, GTZ
Kabupaten Tapanuli Tengah
1. Akdarudin Tanjung L Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Al-
Wasliyah
2. Basyri Nasution L Pemerintah Daerah–Bappeda
3. Dedy Sudarman Pasaribu L Pemerintah Daerah–Bappeda
4. Erwin Romulus L LSM–P3TN
5. Ewiya Laili P Pemerintah Daerah–Dinas Kesehatan
6. Guturiya Sitorus P Pemerintah Daerah–Dinas Keluarga Berencana,
Kependudukan dan Catatn Sipil
7. Mohammad Ridsam
Batubara
L Pemerintah Daerah–Dinas Kelautan dan
Perikanan
8. Muller Sulalahi L Pemerintah Daerah–Kantor Pengabdian
Masyarakat (PEMMAS)
9. Nurhalimah Hutagalung P Pemerintah Daerah–Dinas Pertanian dan
Peternakan
10 Rina Lamrenta L-Tobing P Pemerintah Daerah–Bappeda
11. Yulifri Lubis L Pemerintah Daerah–Dinas Pendidikan
Catatan:
P/L : Perempuan/Laki-laki.
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
Lembaga Penelitian SMERU, 65 Desember 2006
LAMPIRAN 4.
Rangkaian Kegiatan AKP di Tingkat Desa
Kelompok Peserta Diskusi
Waktu Kaya Miskin Muda
Jenis Kegiatan
(Focused Group
Discussion)
P L P P
Keterangan
Hari ke-1 Mengunjungi Kantor
Desa
Perkenalan dengan kepala desa
dan perangkatnya
Melengkapi data desa
Klasifikasi
Kesejahteraan
Peserta: perwakilan dari semua
lorong/dusun
Analisis
Kecenderungan
Lanjutan ‘Klasifikasi
Kesejahteraan’.
Laki-laki (L) dan perempuan (P)
dipisah
Pemetaan Sosial &
Sumber Daya
Lanjutan ”Klasifikasi
Kesejahteraan”.
Dengan wakil setiap lorong/dusun
Hari ke-2 WM (wawancara
mendalam): Sejarah
Perkembangan Desa
Dengan kepala desa, perangkat
desa lainnya atau tokoh
masyarakat
Transect Walk
WM: Studi Kasus
Analisis Sumber Mata
Pencaharian
2 x (Klp Kaya L&P; Klp Miskin
L&P)
Dilanjutkan dengan Analisis
Keuangan Rumah Tangga
Analisis Keuangan
Rumah Tangga
Lanjutan Analisis Sumber Mata
Pencaharian.
L & P dipisahkan
Hari ke-3 Kalender Musiman 2 x (Klp miskin L; Klp miskin P)
Kalender Harian Lanjutan Kalender Musiman
Transect Walk
WM: Studi kasus
Analisis Gender 2 x (Klp miskin L; Klp miskin P)
Hari ke-4 Diagram Venn;
Sumber Informasi &
Bantuan
2 x (Klp miskin L; Klp miskin P)
Transect Walk
WM: Studi Kasus
Hari ke-5 Diagram Sebab-Akibat
Kemiskinan
3 x (Klp miskin L; Klp miskin P;
Klp muda L&P)
Prioritas Masalah &
Alternatif Pemecahan
Lanjutan Diagram Sebab -Akibat
Kemiskinan
Hari ke-6 Pleno Wakil semua lorong/dusun &
wakil peserta FGD
Hari ke-7 Melengkapi
Data/Informasi
Meninggalkan desa bila laporan
sudah lengkap
2 3
1
4 5
6 7
8 9
10 11 12
13
Lembaga Penelitian SMERU, 66 Desember 2006
LAMPIRAN 5.
Ciri-Ciri Setiap Kelompok Kesejahteraan di Desa-Desa AKP di Kabupaten Bima
Ciri-ciri
Kemiskinan
Kelompok
Kesejahteraan
Desa Waworada Desa Nunggi Desa Doridungga
Miskin Rumah kayu
jerimpi/gedek, 4 tiang
Atap rumah
genting/ilalang
Tidak punya MCK,
Rumah terbuat dari
papan/bedek
Rumah kerangka kayu
(6 – 9 tiang)
Rumah 6 tiang, (tidak ada
isi, kecuali kursi kayu),
WC sederhana
Kondisi
Rumah
Sangat Miskin Biasanya ditempati
oleh 2 keluarga
Rumah kadang-kadang
nempel dengan
tetangga (0,5 are)
− Salaja (Gubuk) 4
tiang.
− Numpang tinggal di
lahan orang
Rumah 4 tiang
Tinggal di gubuk di lahan
Tinggal bersama lebih dari
1 RT
Miskin Pendidikan anak ratarata
hanya tamat SD
− Tamat SD – SMP
− Sebagian tamat
SMA
Dapat menyekolahkan
anak sampai SMU
Tingkat
Pendidikan
Sangat Miskin Anak tidak tamat SD.
Biasanya hanya sampai
kelas 3
Tidak tamat SD atau
tidak sekolah
Dapat menyekolahkan
anak sampai SMP
Miskin Berobat ke puskesmas
atau dukun
− Berobat ke puskesmas
dengan menggunakan
kartu sehat
− Pergi ke dukun
Pergi ke puskesmas atau ke
dukun
Kesehatan
Sangat Miskin Jika sakit atau
melahirkan pergi ke
dukun
Tidak mampu berobat ke
puskesmas
Hanya berobat ke dukun
atau menggunakan obatobatan
tradisional
Miskin − Punya pekarangan
luas 1 are
− Punya sampan kayu
kecil (dayung)
− Punya induk ayam
2 ekor
Punya ayam 5-10 ekor − Ada kebun 1 petak
saja
− Punya ayam sampai
10 ekor
Kepemilikan
Aset
Sangat Miskin Tidak memiliki aset Tidak punya apa-apa − Tidak punya lahan
− Punya ayam hanya 3
ekor atau tidak
punya ayam
Miskin Sangat sederhana Beli pakaian baru 1 kali
setahun
Pakaian
Sangat Miskin Pakaian bekas, lusuh Kadang beli pakaian,
kadang terima pakaian
pemberian tetangga
Miskin 3 kali dengan menu
sederhana
Pola Makan 2 kali sehari
Sangat Miskin 2 kali sehari 3 kali dengan menu
seadanya (gizi rendah)
2 kali sehari dengan menu
sangat sederhana
Lembaga Penelitian SMERU, 67 Desember 2006
Ciri-ciri
Kemiskinan
Kelompok
Kesejahteraan
Desa Waworada Desa Nunggi Desa Doridungga
Miskin Buruh tani, buruh
nelayan, pedagang
bakulan–berdagang
sayur (perempuan)
Buruh tani, pencari kayu
dan bambu untuk dijual
(kayu bakar)
Buruh tani (pekerjaan
utama), pedagang
bakulan, tukang kayu dan
menenun (pekerjaan
sampingan)
Mata
Pencaharian
Sangat Miskin Buruh pengikat
rumput laut, buruh
tani, perladangan liar,
kuli angkut
Buruh tani,
mencari/mengumpulkan
sisa panen
Buruh tani (pekerjaan
utama), mengambil kayu
dan menganyam ilalang
(pekerjaan sampingan)
Jumlah Anak Sangat Miskin Punya banyak anak
(5-7)
Punya 4–7 anak Punya 5–8 anak
Lembaga Penelitian SMERU, 68 Desember 2006
LAMPIRAN 6.
Ciri-Ciri Setiap Kelompok Kesejahteraan di Desa-Desa AKP di Kabupaten
Tapanuli Tengah
Ciri-ciri
Kemiskinan
Desa Sipange Desa Mombangboru Desa Kinali
Kondisi
Rumah
Rumah panggung dari
kayu, atap rumbia, rumah
kontrak, tanah rumah
hanya berdasarkan secarik
surat dari kades, mandi dan
WC di sungai, tidak ada
listrik, memasak dengan
kayu bakar
− Rumah kolong, atap
rumbia/seng, dinding
terbuat dari
papan/tepas.
− Masyarakat sebagian
meminjam tanah untuk
mendirikan rumah.
− MCK ke sungai/parit,
atau ke sumur tetangga
− Rumah kolong
− Dinding papan.
− Atap rumbia
− Kondisi rumah sederhana
− Tidak layak huni
− Toilet di sungai
Pekerjaan Petani penggarap; buruh
tani
Petani penggarap; buruh
tani
Nelayan dengan sampan orang
lain, memancing di sungai; petani
penggarap; buruh tani tanpa
lahan
Pendidikan
Anak
Tamat SD Tamat SD Tamat SD
Kepemilikan
Aset
Tidak punya lahan
pertanian, punya sedikit
lahan pertanian tapi tidak
produktif, punya sawah
kurang dari 0,25 ha
- Tidak punya lahan,
ternak dari pemerintah,
tidak punya perhiasan
Tidak punya perabot rumah
tangga, hanya punya alas tidur,
rumah milik orang tua (keluarga
besar)
Kesehatan Jika sakit pergi ke dukun
kecuali yang punya kartu
sehat
Pergi berobat ke dukun Kurus,dan kurang gizi
Pola Makan Makan 2 kali sehari, hanya
dengan sayuran seadanya
dan ikan asin
Makan 3 kali sehari dengan
menu sederhana
- Makan 2 kali sehari
- Kadang-kadang makan sagu,
ubi/singkong untuk makan
pagi
Kegiatan Sosial
dan lainnya
Pakaian pemberian dari
orang atau beli di toko
pakaian bekas
- Tidak pergi ke pesta
- Tidak pernah makan di lapo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya Suryanto dari Indonesia di Kota Palu, saya mencurahkan waktu saya di sini karena janji yang saya berikan kepada Ibu ESTHER PATRICK yang kebetulan adalah Tuhan yang mengirim pemberi pinjaman online dan saya berdoa kepada TUHAN untuk dapat melihat posisi saya hari ini.
BalasHapusBeberapa bulan yang lalu saya melihat komentar yang diposting oleh seorang wanita bernama Nurul Yudianto dan bagaimana dia telah scammed meminta pinjaman online, menurut dia sebelum ALLAH mengarahkannya ke tangan Ibu. ESTHER PATRICK. (ESTHERPATRICK83@GMAIL.COM)
Saya memutuskan untuk menghubungi NURUL YUDIANTO untuk memastikan apakah itu benar dan untuk membimbing saya tentang cara mendapatkan pinjaman dari LADY ESTHER PATRICK, dia mengatakan kepada saya untuk menghubungi Lady. Saya bersikeras bahwa dia harus memberi tahu saya proses dan kriteria yang dia katakan sangat mudah. dari Ibu. ESTHER, yang perlu saya lakukan adalah menghubunginya, mengisi formulir untuk mengirim pengembalian, mengirim saya scan kartu identitas saya, kemudian mendaftar dengan perusahaan setelah itu saya akan mendapatkan pinjaman saya. . Lalu saya bertanya kepadanya bagaimana Anda mendapatkan pinjaman Anda? Dia menjawab bahwa hanya itu yang dia lakukan, yang sangat mengejutkan.
Saya menghubungi Ibu ESTHER PATRICK dan saya mengikuti instruksi dengan hati-hati untuk saya, saya memenuhi persyaratan mereka dan pinjaman saya disetujui dengan sukses tetapi sebelum pinjaman dipindahkan ke akun saya, saya diminta membuat janji untuk membagikan kabar baik tentang Ibu. ESTHER PATRICK dan itulah mengapa Anda melihat posting ini hari ini untuk kejutan terbesar saya, saya menerima peringatan Rp350.000.000. jadi saya menyarankan semua orang yang mencari sumber tepercaya untuk mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Ibu. ESTHER PATRICK melalui email: (estherpatrick83@gmail.com)untuk mendapatkan pinjaman yang dijamin,
Anda juga dapat menghubungi saya di Email saya: (suryantosuryanto524@gmail.com)