Senin, 03 Januari 2011

Menuju Kedermawanan Perusahaan yang Bertanggung Jawab

The highest use of capital is not to make more money, but to make money do more for the betterment of life—Henry Ford
Kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy)bisa diartikan sebagai inisiatif perusahaan untuk terlibat dalam upaya‐upaya perbaikan kehidupan sosial. Pada mulanya inisiatif ini lebih merupakan tindakan voluntir. Alasan kemanusiaan, implementasi ajaran altruisme, dan bahkan argumentasi relijius pada mulanya menjadi motivasi utama tindakan ini. Dalam perkembangannya lebih lanjut, tindakan mulia ini berkembang menjadi sebuah tindakan strategis. Alasan membangun reputasi, cause‐related marketing, dan bahkan secara diam‐diam menghitung dampak dan peluang politik hadir dalam tindakan filantropis ini.
Sebagai sebuah tindakan kemanusiaan, corporate philanthropy, bagaimana pun layak dipuji dan harus terus‐menerus dikembangkan. Hanya saja, jangan sampai atas “arogansi” sudah memberikan sumbangsih luar biasa kepada kehidupan sosial, perusahaan yang berderma melupakan upaya minimalisasi dampak negatif operasinya. Pun dengan soal perluasan mitra. Sebagian besar perusahaan lebih memfokuskan diri saling bekerja sama dengan perusahaan lainnya dibandingkan melakukan engagement dengan kekuatan civil society. Atau dalam batas dan kadar tertentu, tidak sedikit tindakan corporate philanthropy malah menggantikan dan mungkin mengambil alih tugas pokok, peran dan fungsi pemerintah.
Sisi kritis lainnya yang sering tampak dalam corporate philanthropy, khususnya ditunjukkan oleh berbagai foundation perusahan‐perusahaan besar di Indonesia adalah kecenderungan gebyah uyah. Mereka sedemikian besar mengeluarkan dana untuk berbagai kegiatan sosial tanpa fokus, arah, dan keberlanjutan program yang jelas. Sepertinya ini terjadi karena sebagian besar corporate foundation menempatkan diri sebagai “tuan” yang sangat dermawan, untuk kemudian melakukan ekspansi pasar dari perolehan citra positif dari publik.

Corporate Philanthropy sebagai CSR
Carroll (1979) membagi tindakan corporate social responsibility (CSR) dalam empat level: economic, legal, ethical, and discretionary. Dalam banyak penilaian para ahli, tindakan corporate philanthropy (CP) sering dimasukkan ke dalam tindakan etis dan voluntari. Kendati demikian, karena tindakan CP selalu membawa “merk” perusahaan, entah itu menempel dalam basis bisnis dari nama orang atau nama yayasan, tak satu pun para ahli yang tidak sepakat untuk secara terbuka menyatakan bahwa inisiatif CP adalah bagian integral dari strategi pemasaran. Kita tidak bisa melepaskan keterkaitan bisnis Microsoft dengan Bill and Linda Gates Foundation; Sinar Mas dengan Eka Tjipta Foundation; Ford Foundation dengan pabrikan mobil bermerk “Ford”; atau keterkatian secara tegas antara nama yayasan dengan basis bisnis penopangnya seperti Sampoerna Foundation, Medco Foundation atau Freeport Foundation, misalnya. Demikian pula dengan kucuran dana perusahaan kepada berbagai lembaga multilateral, ornop, lembaga donor nasional dan internasional untuk kegiatan‐kegiatan yang mungkin sama sekali tidak berhubungan dengan core business perusahaan.
Bahkan dalam banyak kasus, kendati CP secara eksplisit diungkapkan sebagai sebuah tindakan altruis, namun tidak sedikit perusahaan memasukkan aliran dana CP sebagai corporate spending, diberlakukan sama dengan “belanja bisnis” lainnya yang memiliki hitungan ketat mengenai laba dan return of investment. Untuk itu, bagi David Hes (dalam Andrew Crane, et.al., 2008) gelombang CP sebagai sebuah inisiatif perusahaan dalam berkontribusi bagi perbaikan kehidupan sosial, selain atas alasan ketinggian komitmen moral namun juga didasarkan oleh hitungan matang mengenai causerelated marketing, building reputation, dan bahkan international expansion. Karenanya, CP tidak pelak lagi merupakan bagian integral dari keseluruhan business performance.
Sebagai sebuah tindakan CSR, CP jelas tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab perusahaan untuk menimimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif. Untuk sementara, tampak bahwa kinerja CP lebih banyak memokuskan diri pada maksimalisasi dampak positif dengan memberikan kontribusi pada aneka ragam kegiatan sosial. Pada umumnya CP lebih sering memilih agenda sumbangan kepada korban bencana, bermain di sektor pendidikan dan kesehatan. Nyaris semua kegiatan CP berhenti sampai di sini. Dan nyaris pula, mereka melupakan evaluasi dan kewajibannya untuk menimalisasi dampak negatif operasi perusahaannya.
Agar CP menjadi representasi CSR, Michael E. Porter and Mark R. Krammer (dalam Andrew Crane, et.al., 2008) memberikan rekomendasi agar seluruh peran, inisiatif, dan kinerja CP sebaiknya menjaga keseimbangan antara business dan social benefit. Dan canangan program CP sebaiknya diarahkan dan didasarkan pada competitive advantage masing‐masing pelaku bisnis. Hal ini ditegaskan Porter dan Krammer karena pada akhirnya seluruh kinerja CP seharusnya memberikan input pada dua sisi sekaligus: perusahaan dan masyarakat. Kontribusi itu berupa terlembaganya nilai‐nilai sosial dan ekonomi baru dari upaya menyeimbangkan tujuan murni bisnis dan murni kedermawanan.
Untuk meraih keseimbangan dan memeroleh manfaat timbal balik maksimum dari nilai‐nilai agung filantropi baik bagi kehidupan sosial maupun bagi penyelenggaraan bisnis yang lebih bertanggung jawab, Porter dan Krammer menyarankan agar CP diselenggarakan dengan sebuah pendekatan yang komprehensif: sesuai dengan konteks, kebutuhan, kecakapan inti perusahan, dan berbagai faktor lainnya. Semuanya dilakukan demi meraih nilai‐nilai filantopi secara maksimal: keseimbangan laju perolehan manfaat sosial dan bisnis.
Agar CP menjadi sebuah langkah yang sustainable dan termasuk sebagai upaya maksimalisasi dampak positif dan minimalisasi dampak negatif, Porter dan Krammer menyarankan lima langkah manajerial yang sebaiknya diambil dalam melakukan CP:
Pertama, memeriksa ulang competitive context kepentingan dan nilai‐nilai perusahaan di masing‐masing wilayah geografis. Kedua, melakukan review atas portfolio kegiatan dan program filantropi yang sudah berlangsung. Dalam melakukan review dilakukan perusahaan harus melihat apakah kegiatan filantropi yang selama ini termasuk (i) communal obligation, sebuah kegiatan umum sebagaimana layaknya seorang warga negara. Ciri umum dari kategori ini adalah keterlibatan CP dalam program pendidikan dan kesehatan; (ii) goodwill building, memberikan kontribusi dan dukungan penuh kepada seluruh karyawan, pelanggan, dan community leader dalam menjalin hubungan baik dan merangkai program company relationship jangka panjang. Dalam kategori ini CP, juga dijadikan sebagai momentum untuk membangun stakeholder engagement baik secara internal (khususnya employee dan suply chain) maupun secara eksternal (khususnya dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat secara umum); (iii) strategic giving, memberikan bantuan sesuai dengan core competence bisnis dan konteks kebutuhan lokal. Ketiga, melakukan penilaian atas resistensi —baik yang potensial maupun yang sudah eksis— dari inisiatif pemberian bantuan oleh perusahaan. Penilaian ini dilakukan dengan memerhatikan: (i) proses seleksi atas upaya pemberian bantuan terbaik; (ii) upaya memperlebar mitra dengan kelompok lain dalam memberikan bantuan; (iii) upayaupaya dan proses‐proses perbaikan kinerja pemberian bantuan; (iv) perolehan dampak perbaikan dan perluasan pengetahuan. Empat “saringan” ini diperhatikan dengan saksama demi terwujudnya nilai sosial dan ekonomi baru: terjadi keseimbangan atau titik temu antara semakin tingginya manfaat sosial dalam kegiatan filantropi murni dan manfaat ekonomi dalam kegiatan bisnis murni. Keempat, mencari opportunity untuk melakukan collective action di sebuah wilayah operasi bersama mitra lain. Mitra di sini baik berupa perusahaan lain maupun beragam para pemangku kepentingan yang memiliki competitive context sesuai dengan canangan program yang hendak dijalankan. Kelima, dengan penuh saksama melakukan jejak rekam (monitoring) dan mengevaluasi hasil. Temuan perolehan hal‐hal unik yang mungkin berbeda sama sekali dengan langkah teks manajerial sebaiknya dijadikan sebagai input untuk perbaikan dan inovasi program tiada henti.
Satu hal yang juga penting diperhatikan—kendati secara implisit sudah ditegaskan di muka, bahwa CP juga membawa misi penyebaran nilai‐nilai. Nyaris semua perusahaan besar dibangun atas nilai‐nilai universal pendirinya dan berbagai program CP juga sedikit banyak mencerminkan keinginan penyebaran nilai‐nilai para pendiri bangunan dan jaringan bisnis ini. Nilai‐nilai seperti kemandirian, upaya membantu sesama, komitmen pada kebersihan dan kejujuran, semangat dan kerja keras, seni bertahan dan mengaktualisasikan diri, serta sejumlah cita‐cita yang berhubungan dengan nilai‐nilai citizenship, juga merupakan item yang harus diperhatikan dengan saksama dalam melakukan CP.
Secara keseluruhan lima langkah di atas haruslah bermuara pada keseimbangan antara kontribusi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan tentunya ditempatkan dalam kerangka upaya manajemen untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimumkan dampak negatif kehadiran dan operasi perusahaan sesuai dengan bisnis yang dijalankan. Dan di sinilah titik temu makna tindakan filantropis sebagai aksi etis‐volunter yang memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial dan sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi baik bagi masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang keseimbangan ini dijaga dengan saksama, CP bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab.

Ref: Taufik Rahman
Aktivis Lingkar Studi CSR
www.csrindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar