Senin, 03 Januari 2011

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN KULTUR ORGANISASI TERHADAP KOMUNIKASI DALAM TIM AUDIT

A. Gaya Kepemimpinan
Fleisman dan Peters (1962) menyatakan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku konsisten yang diterapkan pemimpin dengan dan melalui orang lain, yaitu pola perilaku yang ditunjukkan pemimpin pada saat mempengaruhi orang lain, seperti yang dipersepsikan orang lain.
Gaya kepemimpinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gaya kepemimpinan yang telah diteliti di Ohio State University oleh Fleishman et al., dalam Gibson (2000) yaitu perilaku pemimpin melalui dua dimensi yaitu consideration dan initiating structure.

1. Consideration (konsiderasi) adalah gaya kepemimpinan yang menggambarkan kedekatan hubungan antara bawahan dengan atasan, adanya saling percaya, kekeluargaan, menghargai gagasan bawahan, dan adanya komunikasi antara pimpinan dan bawahan. Pemimpin yang memiliki konsiderasi yang tinggi menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka dan parsial.
2. Initiating structure (Struktur inisiatif) merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa pemimpin mengorganisasikan dan mendefinisikan hubungan-hubungan didalam kelompok, cenderung membangun pola dan saluran komunikasi yang jelas, dan menjelaskan cara-cara mengerjakan tugas yang benar. Pemimpin yang memiliki kecenderungan membentuk struktur yang tinggi, akan memfokuskan pada tujuan dan hasil. Bukti empiris tentang gaya kepemimpinan dalam KAP menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan konsiderasi yang tinggi akan menimbulkan behavior disfunctional oleh auditor (CAR Report, 1978; Kelley, 1988; Raghunathan, 1991). Part dan Jiambalvo (1982) menginvestigasi penentuan gaya kepememimpian konsiderasi dan struktur inisiatif, mereka menggunakan path-goal theory dalam menguji hubungan antara perilaku manajer partner dengan kepuasan kerja dan motivasi bawahan. Hasilnya terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara perilaku konsiderasi dan kompleksitas tugas. Gaya kepemimpinan konsiderasi lebih memuaskan bawahan dalam kompleksitas tugas yang rendah. Sedangkan interaksi antara perilaku struktur inisiatif dengan kompleksitas tugas tidak signifikan, karena perilaku struktur inisiatif dapat digunakan dalam kompleksitas tugas yang tinggi.
Outley dan Pierce (1995) serta Murdianingrum (2000) menguji gaya kepemimpinan di KAP dengan perilaku disfungsioanal. Sedangkan Safriliana (2001) menguji gaya kepemimpinan dengan prilaku penurunan kualitas audit. Gaya kepemimpinan yang digunakan adalah struktur inisiatif dan konsiderasi. Mereka membedakan gaya kepemimpinan tersebut tinggi dan rendah. Hasil penelitian Outley dan Pierce (1995) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan struktur inisiatif cenderung mengurangi perilaku disfungsional. Sedangkan hasil penelitian Murdianingrum (2000) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan konsiderasi cenderung mengurangi perilaku disfungsional. Demikian juga hasil penelitian Safriliana (2001) bahwa gaya kepemimpinan struktur inisiatif lebih berpengaruh dalam mengurangi perilaku penurunan kualitas audit dibanding dengan gaya kepemimpinan konsiderasi.

B. Komunikasi Dalam Tim audit
Pengertian komunikasi dalam satu kelompok, menurut Ivancevich dan Matteson (1987) dalam Rachma (2000) adalah pengiriman informasi oleh salah seorang anggota kelompok kepada anggota yang lain dengan menggunakan simbol-simbol tertentu.
Profesi akuntan publik tidak terlepas dari proses komunikasi, dia selalu dituntut untuk melakukan komunikasi baik dengan klien maupun dengan karyawan profesional dan klerikal dalam perusahaan. Putusnya komunikasi antar akuntan dapat memberi pengaruh kurang baik terhadap kinerja akuntan, selain itu dapat menimbulkan konsekuensi yang membahayakan perusahaan dan juga menghambat kemampuan akuntan untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik (Hammer dan Gavin, 1983 dalam Rahcma, 2000).Beberapa penelitian bahkan telah menunjukkan bahwa komunikasi mempunyai implikasi penting terhadap kepuasan kerja dan turnover akuntan (Rhode et al., 1977; Fusaro et al., 1984; Hammer dan Gavin, 1983 dalam Rachma, 2000). Komunikasi yang terjalin diantara anggota tim audit menjadi aktivitas yang sangat fundamental untuk mencapai hasil akhir, yaitu opini audit. Keberhasilan kerja tim sangat dipengaruhi oleh komunikasi tim audit. Komunikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah komunikasi yang digunakan oleh Rudolph dan Welker (1998) yang terdiri dari empat dimensi yaitu: Kecukupan informasi, boundary spaning, kepuasan atas pengawasan dan keakuratan informasi.
• Kecukupan informasi, yaitu kecukupan informasi yang menyangkut tersedianya informasi yang akurat dan tepat waktu sesuai dengan yang dibutuhkan. Bila jumlah informasi yang diterima tim audit jauh melebihi atau mengurangi kebutuhan, maka anggota tim kesulitan dalam memanfaatkan semua informasi yang mereka terima secara efisien, akibatnya dapat mengurangi keefektifan pengambilan keputusan dalam pelaksanaan audit.
• Boundary Spanning, yaitu serangkaian aktivitas para anggota kelompok yang saling berinteraksi menyampaikan atau menerima informasi untuk tujuan pengambilan keputusan. Aktivitas ini terjadi ketika auditor melakukan akses dengan orang-orang diluar tim seperti pakar komputer, sistem informasi, perpajakan, keuangan dan pakar statistik, juga dengan pihak-pihak di luar KAP yaitu klien, rekanan kerja klien yang bisa memberikan bukti-bukti yang berkaitan dengan audit yang sedang dilaksanakan.
• Kepuasan terhadap pengawasan, yaitu kualitas dan kuantitas informasi yang diterima auditor dari supervisornya. Kepuasan terhadap pengawasan disini, merupakan perilaku yang mencerminkan sampai sejauh mana kebutuhan auditor akan segala informasi yang berkualitas dapat dipenuhi oleh supervisor.
• Keakuratan informasi. Dalam proses pengauditan bukti-bukti audit tidak hanya harus mencukupi, tetapi juga kompeten. Bukti yang kompeten berarti juga informasi yang akurat, dapat dipercaya, sah, objektif dan relevan. Mengacu pada uraian dan penjelasan pada point 2.1 mengenai danya perilaku disfungsional auditor dan penurunan kualitas audit, terkait dengan peran pemimpin dalam mempengaruhi bawahanya dalam upaya menciptakan komunikasi dalam menyampaikan informasi. Hal ini didasarkan pada estimasi yang ada bahwa manajer menghabiskan antara 50 sampai 90 persen waktunya untuk berkomunikasi. Waktu ini digunakan untuk menyampaikan informasi kepada atasan dan menerima informasi dari bawahan.
Teori atribusi kepemimpinan menjelaskan bahwa pendekatan atribusi dimulai dengan posisi para pemimpin sebagai pemproses informasi (Gibson, 2000) dengan kata lain para pemimpin mencari informasi mengenai mengapa sesuatu terjadi dan kemudian berusaha untuk membentuk penjelasan sebab yang menuntun perilaku kepemimpinannya. Komunikasi menjadi alat manajemen untuk menyatukan kegiatan organisasi yang mana sasaran perusahaan dapat dicapai (Harry, 1978 dalam Timpe, 1991). Dalam satu penelitian, 74% manajer yang dijadikan sampel dari perusahaan Amerika, Inggris dan Jepang mengatakan bahwa hambatan utama terbesar menuju keunggulan perusahaan adalah keruntuhan komunikasi (Blake dan Jane,1968 dalam Timpe, 1991). Dalam pelaksanaan audit, supervisi selalu melakukan komunikasi dengan bawahan mengenai instruksi tugas dan tujuan dari tugas yang diberikan kepada bawahan, pemberian saran yang dapat membantu bawahan dalam menjalankan tugasnya (Hall, 1996). Tanpa adanya komunikasi yang cukup antara supervisi dan bawahan, maka auditor akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas dan menangani tugas-tugas penting yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan interpretasi terhadap informasi yang berkenaan dengan audit yang dilakukan. Pentingnya komunikasi dalam organisasi didukung penelitian Miles et al., (1996) dalam Wardhani (2000) yang menemukan bahwa komunikasi yang efektif dari supervisor mengenai pekerjaan dapat mengurangi role ambiguity dan role conflict.

C. Kultur Organisasi
Hood dan Koberg (1991) mendefinisikan kultur sebagai seperangkat nilai, norma, persepsi dan pola perilaku yang diciptakan atau dikembangkan dalam sebuah perusahaan untuk mengatasi masalah-masalah, baik masalah mengenai adaptasi secara eksternal maupun masalah integrasi secara internal.
Kultur organisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur yang dikembangkan oleh Wallach (1983) yang membagi kultur kedalam tiga dimensi yaitu birokratis, inovatif, dan suportif. Kultur birokratis lebih berorientasi pada kekuasaan, kultur inovatif lebih berorientasi pada hasil dan kultur suportif lebih berorientasi pada hubungan kekeluargaan.
Kultur organisasi memiliki pengaruh yang kuat dalam suatu organisasi melalui penanaman nilai-nilai, pengharapan dan perilaku, yang kemudian mempengaruhi individu, kelompok dan proses organisasi (Gibson, 2000). Penelitian Kotter dan Heskett (1992) terhadap berbagai jenis industri perusahaan di Amerika, menemukan bahwa kultur organisasi mempunyai dampak signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan dalam jangka panjang. Demikian juga dengan penelitian O’Reilly (1989) menunjukkan bahwa kultur perusahaan mempunyai pengaruh terhadap efektivitas suatu perusahaan, terutama pada perusahaan yang mempunyai kultur yang sesuai dengan stategi dan dapat meningkatkan komitmen karyawan terhadap perusahaan.
Umumnya kultur organisasi dibawakan atau diciptakan oleh pendiri organisaasi atau lapisan pimpinan paling atas (top manajemen). Kotter dan Heskett (1992) menyatakan bahwa budaya organisasi bersumber dari beberapa orang, lebih sering hanya dari satu orang pendiri perusahaan, orang tersebut akan mengembangkan strategi sesuai lingkungan bisnis yang dikelolanya, yang pada akhirnya akan menjadi kultur di perusahaan. Higginson dan Waxler (1993), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dan kultur organisasi merupakan refleksi personalitas CEO nya. Demikian juga dengan Pearce dan Robinson (1998) menyatakan bahwa pemimpin menanamkan komitmen untuk melakukan perubahan tiga aktivitas yang saling terkait yaitu klarifikasi maksud strategi, membangun organisasi dan membentuk kultur perusahaan. Pendapat tersebut didukung oleh Senge (1990) bahwa pemimpin merupakan desainer dari organisasi dengan ikut dalam mendesain berbagai tujuan, visi dan nilai-nilai inti dalam organisasi. Nilai-nilai organisasi (kultur organisasi) yang dibentuk oleh pemimpin akan mempengaruhi seluruh aspek dalam organisasi. Pendapat lainnya yang menyatakan adanya hubungan antara kepemimpinan dan kultur organisasi adalah Dessler (1995) menyatakan bahwa kultur organisasi merupakan salah satu variabel penting bagi seorang pemimpin, karena kultur organisasi mencerminkan nilai-nilai yang diakui dan menjadi pedoman bagi perilaku anggota organisasi.
Carlson dan Perrewe (1995) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perilaku pemimpin memberikan kontribusi yang cukup besar pada terbentuknya kultur organisasi. Astuti (1995) yang meneliti tentang analisis kepemimpinan dalam pembentukan budaya perusahaan di hotel Ambarrukmo, hasilnya menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara gaya kepemimpinan dengan budaya perusahaan. Demikian juga Praningrum (1997) meneliti gaya kepemimpinan dan budaya organisasi pada industri kecil, menemukan bahwa gaya kepemimpinan mempengaruhi budaya organisasi. Berdasarkan uraian tersebut hipotesis yang diajukan adalah: H2: Gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kultur organisasi dalam tim audit. Kultur merupakan proses pertukaran pemahaman antar staf dalam suatu organisasi sehingga mereka dapat bekerja sama (Rachma, 2000). Gaya kepemimpinan dan kultur organisasi merupakan dua faktor yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan keberhasilan suatu orgnisasi dalam mencapai tujuan. Brown dan Starkey (1994) mengemukakan bahwa kultur organisasi merpakan instrumen penting dalam memberikan kerangka acuan tentang bagaimana komunikasi dan informasi dikelola oleh manajemen. Begitu juga dengan Harvey dan Borwn (1996) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dan kultur organisasi menentukan arah untuk seluruh organisasi dan mempengaruhi komunikasi, pengambilan keputusan dan pola kepemimpinan dari seluruh sistem.
Rachma (2000) meneliti pengaruh kultur terhadap komunikasi penyampaian informasi dalam tim audit. Hasil penelitiannya menemukan bahwa adanya pengaruh signifikan kultur KAP terhadap proses komunikasi dalam tim audit. Diantara ketiga katagori kultur yang ada (birokratis, suportif dan inovatif) maka kultur birokratis dan suportif yang paling berpengaruh terhadap variabel komunikasi, khususnya boundary spanning dan kepuasan atas pengawasan.

www.akuntansiku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar